Simfoni Kuasa dalam Birokrasi Gemuk: Tafsir Machiavelli tentang Kekuasaan dan Realitas

Dampak kabinet gemuk Prabowo. Foto: Tempo


Penulis: Gustri Arya Rachma


Realitas di balik langkah strategis

Politik, sebagaimana disebut oleh Niccolò Machiavelli dalam II Principe, adalah seni mengelola kuasa-bukan sekadar permainan idealisme, melainkan praktik membaca dan merespons situasi. 

Di panggung kekuasaan, kemenangan tidak hanya menuntut penguasaan atas negara, tetapi juga keseimbangan antara keinginan rakyat dan kepentingan faksi-faksi yang menopang kekuasaan itu sendiri. Dalam logika ini, wacana penambahan kementerian menjadi 40 portofolio oleh Prabowo Subianto bukanlah sekadar langkah administratif, melainkan sebuah manuver politik yang bertujuan untuk meredakan gelombang tuntutan dalam koalisi besar yang ia bangun.

Namun, di tengah pragmatisme politik ini, muncul sebuah ironi. Negara, yang seharusnya berfungsi sebagai instrumen melayani rakyat, perlahan berisiko menjelma sebagai teater bagi distribusi kekuasaan. 

Dalam situasi seperti ini, Machiavelli mengingatkan: seorang pemimpin boleh bermain strategi, tetapi strategi itu harus memiliki makna nyata—bukan sekadar simbol yang memuaskan segelintir pihak.

Dialektika kuasa: Kompromi atau kehilangan arah?

Machiavelli menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mampu menciptakan ilusi stabilitas di mata rakyat, sekaligus menjaga harmoni di antara para elit. Koalisi besar membutuhkan perwakilan, dan representasi ini—sebagaimana hukum tak tertulis dalam demokrasi—sering kali berujung pada bagi-bagi kekuasaan. Penambahan kementerian bisa dilihat sebagai upaya menjaga keseimbangan politik agar tidak runtuh di bawah beban koalisi itu sendiri. Akan tetapi, di sinilah dilema kekuasaan muncul.

Dalam struktur pemerintahan yang melebar, efisiensi sering kali menjadi korban pertama. Terlalu banyak kementerian berdampak pada rantai koordinasi yang memanjang, birokrasi yang kian rumit, dan potensi tumpang tindih fungsi. Di balik janji stabilitas, negara berisiko menjadi mesin yang lamban, berjalan berat, dan kehilangan esensi dari tujuannya. 

Prabowo dihadapkan pada ujian nyata: apakah kebijakan ini sekadar strategi untuk meredam elit atau benar-benar jalan menuju negara yang efektif dan berdaya guna?

Dalam pandangan Machiavellian, pemimpin yang kuat bukanlah ia yang tunduk pada kepentingan kolektif elit, melainkan ia yang mampu menciptakan keteraturan tanpa terlihat memaksakan kehendak. Jika kompromi menjadi kelemahan yang dimanfaatkan, maka ia telah menggali fondasi yang rapuh bagi pemerintahanya sendiri.

Negara sebagai simbol: Ketika kuantitas menyelimuti

Esensi ekspansi kabinet adalah simbol. Ia bisa dipahami sebagai representasi kekuasaan yang inklusif, besar, dan stabil. Namun, seperti yang dikatakan Machiavelli, simbol tidak akan berarti apa-apa jika tidak diiringi hasil nyata. 

Rakyat tidak akan perduli pada jumlah kementerian; yang mereka tuntut adalah dampak konkret—lapangan kerja, harga bahan pokok yang stabil, akses pendidikan dan kesehatan yang merata. Jika simbol-simbol itu kosong, maka kepercayaan akan tergerus, dan di saat itulah kekuasaan berada di ujung tanduk.

Negara dengan kabinet besar bisa diibaratkan sebagai simfoni yang kehilangan harmoni. Banyaknya “instrumen” dalam orkestra tidak menjamin musik yang dihasilkan indah—jika tidak ada konduktor yang kuat, jika tidak ada arahan yang jelas. Dalam situasi ini, Machiavelli mengingatkan bahwa pemimpin harus berani memutuskan mana yang perlu dan mana yang berlebihan. Kebesaran sebuah negara terletak pada ketegasan pemimpinnya, bukan pada seberapa luas kabinet yang ia bangun.

Patronase politik: Stabilitas yang membebani

Di balik langkah ini, patronase politik berkelindan dengan narasi stabilitas. Machiavelli memahami bahwa kemenangan dalam politik bukan akhir, melainkan awal dari kewajiban untuk menjaga “kepuasan” para pendukung. Akan tetapi, pemimpin yang terjebak dalam patronase kehilangan virtù—kecakapan memimpin dengan tegas dan independen. Pemerintahan yang dipenuhi kompromi berlebihan akan mudah terjatuh pada stagnasi.

Prabowo, sebagai pemimpin yang digadang-gadang membawa perubahan, harus menyadari bahwa kekuasaan yang didapat dari dukungan luas memiliki konsekuensi: tuntutan untuk membagi kekuasaan. Namun, di sinilah seni kepemimpinan diuji. Menurut Machiavelli, pemimpin sejati adalah ia yang dapat memberi ilusi kepuasan sambil tetap memegang kendali penuh. Jika kebijakan ini dibiarkan menjadi beban yang tak terkendali, maka retakan kekuasaan hanya menunggu waktu.

Menimbang sejarah dan masa depan

Dalam dilema antara stabilitas dan efektivitas, seorang pemimpin harus menemukan keseimbangan yang tepat. Prabowo dan pemerintahannya perlu mempertimbangkan beberapa langkah, seperti efisiensi dan restrukturisasi; alih-alih memperlebar struktur, pemerintah dapat mengoptimalkan kementerian yang ada dengan merampingkan fungsi yang tumpang tindih, akuntabilitas publik, penjelasan terbuka tentang alasan penambahan kementerian, urgensinya, serta dampak nyata bagi rakyat adalah keharusan. 

Tanpa transparansi, kebijakan ini hanya akan dipandang sebagai langkah politik pragmatis yang kosong makna, 

Pemimpin yang menentukan arah

Prabowo harus membuktikan bahwa ia tidak sekadar mengakomodasi kepentingan elit, tetapi membangun birokrasi yang efektif dan berorientasi pada kepentingan publik.

Di tengah riuh kompromi politik dan tuntutan koalisi, Prabowo harus menegaskan kualitas kepemimpinan yang tangguh—tegas dalam keputusan, cermat dalam strategi. Kebijakan penambahan kementerian mungkin tampak sebagai langkah pragmatis, tetapi tanpa hasil nyata, ia hanya akan menjadi fragmen dalam sejarah panjang kegagalan politik. 

Sejarah akan mencatat, apakah langkah ini menjadi awal dari “Negara Adil Makmur” yang dijanjikan, atau justru batu pertama menuju pemerintahan yang kehilangan arah. Rakyat adalah hakim paling akhir, dan mereka hanya mengenal satu kebenaran: pemimpin yang memberikan solusi, bukan simbol.


Beberapa rujukan:

Tempo.co, “Prabowo Tambah 40 Kementerian, Kata Pakar Hukum hingga Wapres Ma’ruf Amin,” diakses 20 Desember 2024.

Machiavelli, Niccolò. Il Principe (Sang Pangeran): Buku Pedoman Para Diktator. Terjemahan. Yogyakarta: Narasi, 2021.

Sutrisno Mudji, Filsafat dan Kekuasaan dalam Budaya Politik Indonesia (Jakarta: Kanisius, 2002)



Tulisan ini adalah bentuk kolaborasi antara Kanal Perspektif Media dan Lokatara Telkom University.

Tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.


Post a Comment

0 Comments