Perlunya Evaluasi Manajemen Komunikasi Pemerintah dalam Hal Keterbukaan Informasi Publik

Keterbukaan informasi publik perlu di evaluasi. Ilustrasi: Fatwa Jaka

Hak dalam memperoleh informasi adalah hak yang fundamental selain hak menyampaikan aspirasi. Keterbukaan atau transparansi atas informasi dari pemangku kepentingan/pemerintah merupakan salah satu prinsip atau pilar dalam negara yang menganut paham demokrasi. Negara Indonesia yang merupakan salah satu penganut paham demokrasi kini seharusnya sudah mengimplementasikan keterbukaan informasi di era digital ini. Yaitu masa dimana masyarakat Indonesia tidak ada lagi sekat pembeda (borderless) terkait hak publik dalam memperoleh informasi. Dengan terciptanya keterbukaan atas informasi oleh publik dapat memberikan dampak positif atas terwujudnya kontrol sosial. Hak atas informasi merupakan hak fundamental yang menjadi salah satu perhatian utama para perumus DUHAM. Pada tahun 1946, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai bahwa hak ini penting bagi landasan untuk memperoleh hak-hak lainnya. Hak ini menjadi pilar utama pemerintahan yang transparan dan partisipatoris.

Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada komitmen dalam mewujudkan keterbukaan informasi, yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang disahkan DPR pada 3 April 2008. UU KIP dapat menjadi sarana masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini masyarakat dapat terlibat aktif dalam memonitoring dan mengevaluasi perumusan kebijakan pemerintah yang akan maupun telah dilakukan. Kebebasan informasi dapat menjadikan semangat demokratisasi yang menawarkan kebebasan sekaligus tanggung jawab secara melekat. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong akses publik terhadap informasi secara luas. Selain hal tersebut, kebijakan ini juga dapat melahirkan governability dimana negara dapat memfungsikan dirinya secara efektif dan efisien tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi.

Namun dalam praktiknya, UU KIP ini belum diimplementasikan dengan baik oleh para pemangku kepentingan, dan belum dapat dicerna dengan baik oleh masyarakat. Masih ada beberapa instansi pemerintah yang masih terkesan tertutup, berbelit-belit dan lambat dalam membuka informasi untuk publik. Memasuki sepuluh tahun sejak pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Ketebukaan Informasi Publik masih banyak Badan Publik (BP) yang belum patuh melaksanakannya. Belum maksimalnya kepatuhan BP terhadap pelaksanaan keterbukaan informasi publik yang sudah wajib dilaksanakan sejak 2010 itu, tampak jelas terlihat dari hasil monitoring dan evaluasi (monev) keterbukaan BP yang dilaksanakan oleh Komisi Informasi  Pusat (KIP) tahun 2020. Dari hasil monev mengenai keterbukaan BP, bahwa dari 348 BP yang dimonitoring sepanjang tahun 2020, mayoritas 72,99 persen (254 BP) masih sangat rendah kepatuhan dalam melaksanakan keterbukaan informasi publik, yaitu 17,53 persen (61 BP) hanya masuk kategori cukup informatif, 13,53 persen (47 BP) kurang informatif dan 41,95 persen (146 BP) tidak informatif. 

Rendahnya implementasi dalam menjalankan UU KIP ini memang tidak terlepas dari manajemen komunikasi pemerintah yang belum maksimal dalam mendorong keterbukaan informasi publik. Faktor lain yang menyebabkan komunikasi kebijakan pemerintah kurang efektif tidak terlepas dari menurunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara. J.A Heise (1985:209) mengungkapkan penurunan kepercayaan dalam pemerintahan adalah konsekuensi atas komunikasi yang kurang baik antara pemerintah dan masyarakat. Dimana masyarakat merasa bahwa lembaga pemerintah tidak menjalankan roda pemerintahan sesuai struktur politik demokrasi dalam hal keterbukaan informasi. Masyarakat masih mengalami beberapa kendala dalam mendapatkan informasi yang akurat mengenai kegiatan pemerintah. 

Dalam hal ini manajemen komunikasi pemerintah perlu adanya evaluasi untuk mewujukan keterbukaan informasi publik. Dikarenakan manajemen komunikasi pemerintah mempunyai peran penting dalam mensukseskan kebijakan ini. Dibutuhkan manajemen komunikasi pemerintah yang terpadu, terarah dan tepat sasaran. Manajemen komunikasi yang mampu mengoptimalkan proses pengelolaan sumberdaya komunikasi untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas dalam mensosialisasikan kebijakan ini ke pihak internal (badan pemerintah) maupun eksternal (masyarakat luas). Untuk pihak internal bertujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya keterbukaan informasi publik yang diamanatkan UU KIP dan komitmen akan akuntabilitas pemerintah. Sedangkan untuk pihak eksternal mempunyai tujuan melakukan edukasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat mengenai hak konstitusional dalam memperoleh informasi sebagai salah satu bentuk pengawasan akuntabilitas kinerja badan pemerintah. Pada prinsipnya komunikator pemerintah dapat ditemukan disemua tingkatan pemerintahan baik pemerintahan pusat itu sendiri maupun tingkat daerah. Agar komunikasi pemerintahan dapat berjalan dengan baik (efektif dan tepat sasaran), menurut Stilman (1992), pemerintah sebagai aktor utama yang menginisiasi komunikasi harus melakukan hal-hal beikut: memilih secara tepat bahasa (disesuaikan dengan komunikan), saluran, dan media yang digunakan (dengan pertimbangan outcome dan impact yang diharapkan, berusaha menghilangkan atau meminimalisasi rintangan komunikasi pemerintahan krisis, dan menguasai tentang praktik berkomunikasi efektif, yang dapat membantu administrator pemerintah mengelola secara lebih efektif, seperti tentang pengetahuan audiens.


Post a Comment

0 Comments