Thrifting: Alternatif Fast Fashion atau Aktivitas Konsumtif Semata?

Ilustrasi: Mardiana


Apakah thrifting benar-benar penyelamat lingkungan dan menjadi penyeimbang dari industri fast fashion? Atau justru hanya sebagai ‘pembantu’ sektor lingkungan yang buruk dan penghamburan massal terhadap uang?


Perkembangan budaya membeli barang bekas atau yang akrab dikenal dengan thrifting sejatinya sudah ada sejak abad 19. Saat ini thritfting menjelma sebagai salah satu tren dalam industri fashion, utamanya retro & vintage fashion. 


Konsep thrifting dalam harfiahnya merupakan kegiatan membeli barang bekas. Persepsi yang sering keliru di tengah masyarakat ialah menyatukan konsep thrifting dengan thrift store. Jika thritfting lebih kepada kegiatan untuk membeli sesuatu yang sifatnya secondhand, maka thrift store diketengahkan sebagai tempat atau lokasi penyedia dari barang-barang bekas tersebut. Dalam suatu artikel “what does it mean to go thrifting” yang diterbitkan oleh salah satu thrift store terbesar dunia (Goodwill), dikatakan bahwa “thrifting means to go shopping at a thrift store, garage sale, or flea market where you’ll find gently used items at discounted prices. Thrifted items have been loved by a previous owner, but are usually in good shape with enough life left to be useful to a new owner”. 


Napak Tilas Thrifting

Sejarah budaya thrifting yang kini masif berkembang telah melalui dinamika panjang yang bermula melalui revolusi industri pada akhir abad ke-19. Saat itu ditandai dengan kelahiran mesin uap yang membawa siklus dalam berbagai aspek, termasuk dalam industri fashion. Keadaan tersebut membuat harga pakaian relatif murah sehingga masyarakat berpikiran bahwa pakaian adalah barang sekali pakai (disposable use). Hal itu kemudian membuat masyarakat menjadi konsumtif dan pakaian yang sudah tidak terpakai dibuang ke dalam tong sampah. Pakaian bekas ini lalu digunakan kembali oleh para imigran. 


Perkembangan industri ini berlanjut saat salah satu NGO bernama Salvation Army yang membuat barang-barang tidak terpakai sebagai donasi kepada yang membutuhkan. Kemudian pada tahun 1920an terjadi krisis besar di Amerika Serikat yang mengakibatkan sebagian besar masyarakat tidak mampu membeli pakaian baru dan mencari alternatif berbelanja di thrift store. Hal ini disambut oleh Goodwill Industries sebagai salah satu thrift store yang telah berdiri pada tahun 1902 di Amerika. Goodwill memiliki stok barang-barang bekas yang tersedia untuk disuplai ke lebih dari 1000 households. 


Tren thrifting dilanjutkan saat Kerstin Block mendirikan Buffalo Exchange pada tahun 1970an di Amerika Serikat, dimana para customer dapat melakukan transaksi jual-beli. Hingga pada tahun 90an saat Grunge Look sedang dalam masa keemasannya. Saat itu, Kurt Cobain seringkali mengenakan pakaian thrifting style dengan perpaduan ripped jeans, flannel shirt, dan layering. Alhasil, banyak orang yang terinfluence dengan pakaian-pakaian thrifting. Sehingga untuk mendapatkan tampilan yang retro & vintage, kebanyakan orang kemudian memilih pakaian bekas yang tidak diperjual-belikan oleh industri fast fashion. Saat itu, perkembangan thrifting mulai menjamur hingga saat ini. 


Thrifting di Indonesia 

Era 90an bisa dikatakan sebagai kiblat tren fashion terkini di Indonesia. Era tersebut ditandai dengan semakin maraknya industri-industri 90an, baik otomotif, lifestyle hingga fashion culture seperti thrifting. Budaya thrifting melambung ketika banyak selebritis dan fashion influencer mempopulerkannya, seperti Alexa Chung, Travis Scot hingga Lisa BlackPink. 


(Foto dari why thrifting is so popular and where to grab trendy vintage finds, via vanderbilthustler.com


Untuk melakukan kegiatan membeli barang bekas atau thrifting di Indonesia, saat ini sudah banyak disediakan oleh thrift store melalui pasar-pasar tradisional. Di Jakarta misalnya, terdapat Pasar Baru dan Pasar Senen, di Bandung dapat dijumpai di Pasar Gede Bage, hingga pasar-pasar lainnya yang ada di berbagai daerah Indonesia. Selain offline store, terdapat pula online store melalui marketplace maupun platform media sosial seperti Instagram. Namun jika ingin menjangkau industri thrifting yang yang lebih luas, saat ini tersedia website khusus thrifting dunia, misalnya thredUP, Depop, Goodwill Industries, Buffalo Exchange, dan Tradesy. 


Thrifting Menyelamatkan Lingkungan?


Dilansir dari katadata.co.id, Sepanjang kuartal I 2019, industri tekstil dan pakaian mengalami lonjakan yang signifikan, tumbuh 18,98%. Pencapaian pada kuartal I 2019 ini jauh lebih baik ketimbang pencapaian kuartal I 2018 yang sebesar 7,46%, bahkan melebihi pencapaian sepanjang 2018 yang sebesar 8,73%.  Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan, produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) pada triwulan I 2019 naik 4,45% secara tahunan. Pertumbuhan IBS ditopang oleh produksi sektor industri pakaian jadi yang meroket hingga 29,18% karena peningkatan pesanan, terutama dari pasar ekspor. 


Pertumbuhan industri fashion diikuti dengan ancaman limbah tekstik. United Nations Climate Change News mengemukakan bahwa industri fashion, menyumbang sekitar 10% emisi gas rumah kaca global karena rantai pasokan yang panjang dan produksi intensif energi. Industri ini mengkonsumsi lebih banyak energi daripada gabungan industri penerbangan dan perkapalan. Secara kumulatif, industri fashion menghasilkan sekitar 20% air limbah global. Selain itu, 85% tekstil berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar ketika sebagian besar bahan tersebut dapat digunakan kembali. Di Amerika, setiap orang bahkan membuang 10,5 juta ton pakaian setiap tahunnya. 


Thrifting merupakan alternatif kebaharuan yang berkelanjutan dan menyelamatkan bumi. Dengan membeli barang bekas, lingkungan akan terjaga dari limbah tekstil yang membahayakan. Kalimat tersebut memang seakan menjadi pengingat agar dapat menyelamatkan lingkungan serta penyeimbang dari industri fast fashion. Terlebih, isu-isu lingkungan memang digiatkan oleh beberapa organisasi yang perduli terhadap isu lingkungan, khususnya hasil limbah dari pakaian fast fashion. 


thredUP;

“At thredUP,

We believe in a sustainable fashion future.

Thrifting is about more than just finding amazing deals on your favorite brands. It’s about shopping with intention, rejecting throwaway fashion culture, and standing for sustainability. The clothes we wear have the power to create change”.


Tradesy;

“We make it safe and simple to recirculate pre-owned clothing and accessories — so you save up to 90% on luxury, reduce waste, and say goodbye to disposable fashion that harms people and the planet”.


Industri thrifting bagi sebagian orang mungkin akan sedikit menakutkan. Lantaran tidak mengetahui asal-usul dari barang atau pakaian yang di belanjakan. Namun, bagi sebagian lainnya, tidak terlalu memfokuskan hal tersebut dan lebih menganggap bahwa thrifting merupakan bagian dari pop culture yang beresensi eco-friendly. Seperti halnya dalam reportase dari thredUP yang menunjukkan bahwa 40% dari pembeli Generasi Z membeli barang bekas pada tahun 2019. Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa 80% dari Generasi Z mengatakan bahwa tidak terdapat stigma dalam membeli pakaian di thrift store (dan lebih merasa malu jika membeli fast fashion). 


Thrifting sebagai Penghamburan Uang?

(Foto dari thredUP 2020 Resale Report, via thredUP)


Grafik diatas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan serta simulasi dari tahun ke tahun terhadap thrift maupun industri fast fashion. Secara tidak langsung pula, artinya akan terdapat peningkatan kegiatan membeli barang bekas setiap tahunnya. Lalu apa yang dapat diketengahkan dari hal ini?


Hakikatnya, thrifting merupakan barang-barang yang tidak terpakai yang selanjutnya diperjual-belikan untuk mendapatkan pemiliknya yang baru. Secara harga, dapat lebih mahal dari harga awal pembelian (kategori barang langka), namun kebanyakan dijual kembali dengan harga yang jauh lebih murah dari harga awal pembelian. Harga barang-barang bekas yang umumnya dijual dengan ‘miring’, memungkinkan untuk sebagian orang membelinya dalam jumlah yang banyak dan uang yang jauh lebih besar pula, atau dalam arti lain konsumtif. Dan sebagian lainnya hanya membeli dengan kategori ‘jika membutuhkan’. Perspektif pembelian terhadap suatu barang memang harus digaungkan lebih keras supaya pembelian tersebut dapat bersifat bijak dan tidak konsumtif. “We have to change the narrative from buying more and wearing less often, to buying less and wearing more often”



(Foto dari How the United States is Falling in Love With Secondhand Clother, via weforum.org)


Cara pandang terhadap pembelian suatu barang berkaitan dengan data diatas yang menyebutkan bahwa lebih banyak pakaian yang terjual daripada penggunaan terhadap pakaian tersebut. Hal ini tentu patut menjadi perhatian bersama mengingat perspektif terhadap pola pikir tersebut sangat berguna karena kita tidak hanya sebagai aktor dari penyelamat lingkungan terhadap limbah tekstil, namun lebih daripada itu dapat menyesuaikan dengan seberapa banyak pakaian yang di beli dan menjadi kebutuhan primer agar pembelian tidak konsumtif dan lebih bijak.


Post a Comment

0 Comments