Ihwal Penerapan UU ITE yang Dinilai Salah Sasaran. Ilustrasi: Fatwa Jaka S. |
Undang-undang mengenai Infoemasi & Teknologi Elektronik
hingga kini masih menyimpan banyak sekali kontroversi. Dilihat dari
penerapannya, banyak sekali tokoh yang mempermasalahkan bagaimana UU ITE digunakan.
Lalu, apakah memang ada kesalahan pada penerapannya?
Seberapa Penting UU ITE
Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik pertama kali disahkan pada tahun 2008. Undang-undang tersebut
dirancang untuk mengatur segala bentuk aktivitas yang dilakukan secara digital.
Apakah Undang-undang ini penting? Jawabannya iya. Indonesia menjadi salah satu Negara dengan pengguna internet dan media sosial terbanyak, karena itu harus ada rambu-rambu yang jelas dalam mengatur batasan-batasannya. Undang-undang mengenai Informasi dan Teknologi Elektronik mengatur secara menyeluruh tentang bagaimana aktivitas dunia digital.
Buntut Penerapan UU ITE yang Dianggap Salah Sasaran
Banyaknya pasal karet yang multitafsir dalam UU ITE dinilai telah
mengancam kebebasan berpendapat bagi masyarakat. implementasinya yang kerap
salah alamat menjadi bukti bahwa UU ITE adalah produk yang bermasalah.
Dalam implementasi aturan mengenai konten. Satu-satunya
perbuatan yang dilarang adalah memproduksi, menawarkan, mendistribusikan,
menyediakan, dan memiliki berbagai poin yang disebutkan dalam undang-undang
tersebut. Namun penafsirannya tak berhenti disitu.
Tindak pidana yang timbul dalam UU ITE juga bisa lebih banyak
mulai dari melarang distribusi, transmisi dan membuat dapat diaksesnya konten
yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik,
pemerasan, berita bohong/hoax, kebencian berbasis SARA, dan lain sebagainya. Anehnya,
semua larangan tersebut padahal sudah diatur melalui KUHP.
Maka dari itu, semua poin aturan harus memiliki batasan
prinsip hukum yang jelas. Misalnya pada pencemaran nama baik, paling tidak
harus merupakan suatu tuduhan seseorang yang melakukan hal tertentu, ditujukan
kepada umum, tidak dalam ruang privat, hanya dapat ditujukan kepada individu
bukan lembaga, instansi, atau badan hukum, harus dengan lapuran secara langsung
orang yang dituduh, dan yang paling penting adalah tuduhan terjadi di ruang publik
baik demi kepentingan umum ataupun terpaksa untuk membela diri.
Pada pasal 27 ayat 3 UU ITE hingga saat ini memang menjadi
masalah besar karena tidak memiliki batasan hukum yang jelas. Korespondensi yang
terjadi di ruang privat dapat dijerat melalui unsur transmisi. Dibanyak kasus,
yang jadi korban adalah lembaga atau badan hukum yang sebenarnya tidak bisa
dilindungi oleh pasal ini. Akhirnya, pelaku seperti Saiful Mahdi, Stella
Monica, Jerinx, Prita Mulyasari ataupun kita bisa terjerat kapan saja.
Untuk konten yang mengandung kesusilaan, bisa dijerat arena
pelanggaran terjadi secara terbuka dan diruang public sesuai dengan batasan
hukum yang ada di KUHP. Bisa dijerat di ruang privat apabila orang yang
ditujukan tidak berkehendak.
Dari sini, harusnya korespondensi privat, dokumen privat,
hingga upaya membuktikan kasus kekerasan seksual tidak dapat dijerat. Parahnya,
rumusan Pasal 27 ayat 1 UU ITE ini tidak memuat batasan hukum. Selama kontennya
dianggap mengandung unsur kesusilaan, bentuk transmisi apapun bisa dijerat.
Kemudian mengenai kriminalisasi hate speech harus
mengandung definisi yang jelas. Ujaran kebencian bisa diartikan melindungi
kelompok-kelompok yang rentan didiskriminasi karena identitasnya seperti
identitas dasar kebangsaan, agama dan ras, hingga jenis kelamin ataupun
orientasi seksual. Jadi bukan sembarangan ‘aku benci sama kamu!’. Dalam pasal
tersebut, justru memuat unsur “antar golongan” yang tidak dijelaskan definisi
dan batasan hukum nya.
Banyaknya problematika dalam implementasi UU ITE tersebut menimbulkan
diskursus yang menganggap bahwa UU ITE tidak lagi relevan dan perlu direvisi
besar-besaran.
Dikutip dari Mojok, Studi ELSAM pada 2016 dan ICJR pada 2021
menunjukkan beberapa motif ketika UU ini digunakan mulai dari balas dendam,
bungkam kritik, hingga menjatuhkan lawan politik. Namun, motif yang sering
terlihat adalah balas dendam dengan timpangnya relasi kuasa antara si pelapor
dengan pihak yang dilaporkan. Para pelapor cenderung orang yang memiliki
kekuatan politik seperti kepala daerah, birokrat, pengusaha, atau yang memiliki
pengaruh dan kekuatan sosial yang kuat. Sedangkan, pihak yang dilaporkan hanya berasal
dari kalangan lemah yang tak punya relasi sehingga sulit mendapatkan akses
untuk mendapatkan keadilan.
Namun setelah pengkajian secara menyeluruh dilakukan, UU ITE
dinilai masih diperlukan terlebih adanya fakta bahwa pengguna internet terus
bertambah. Dilansir melalui Kompas, Tim Kajian Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik Sugeng Purnomo mengatakan bahwa
urgenti UU ITE masih tetap eksis hingga saat ini.
Kajian yang melibatkan 29 narasumber perwakilan dari
aktivis, praktisi, dan korban UU ITE menghasilkan 5 kesimpulan. Pertama, UU ITE
masih dibutuhkan guna menjaga ruang digital yang lebih beretika, produktif, dan
berkeadilan. Kedua, perlunya edukasi pada generasi muda tentang tata karma di
ruang siber. Ketiga, mendesak seluruh aparat penegak hukum untuk bertugas
secara professional dan adil dalam menjalankan fungsinya. Keempat, pengenaan
delik UU Pers pada kerja kejurnalistikan di media siber, bukan UU ITE.
Terakhir, pembahasan mengenai pasal yang dianggap multitafsir.
Presiden Joko Widodo telah mengajukan wacana mengenai revisi
UU ITE pada 15 Februari 2021. Namun dalam perjalanannya, wacana tersebut tidak segera
direalisasikan. Bahkan dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 09 Maret
2021 UU ITE tidak diikutsertakan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Prioritas 2021 yang disepakati oleh pemerintah dan juga DPR.
0 Comments