The Social Dilemma: Bahaya dan Cara Kerja yang Membudakkan

Ilustrasi: Fatwa Jaka S



The Social Dilemma merupakan serial dokumenter Netflix yang disutradarai oleh Jeff Orlowski dan rilis pertama kali pada 2020. Premis dokumenter ini adalah tentang bagaimana media sosial bekerja, dampak yang menyertainya hingga sisi kelam dari media sosial itu sendiri. Tak luput dari pembahasan, menariknya dokumenter ini juga menghadirkan narasumber kredibel yang pernah bekerja dalam sistem tersebut hingga akhirnya ‘tersadarkan’ akan dampak berkepanjangan yang akan terjadi. Bahwa satu platform bisa membawa dampak yang signifikan bagi 2 miliar umat manusia. 


Pengalamatan bahasan The Social Dilemma akan nampak etis, apabila kita ketengahi dengan penelitian terdahulu mengenai penggunaan media sosial di dunia. Data menyebutkan media sosial berkontribusi paling besar dalam penggunaan internet di dunia. 


Berdasarkan Survei Hootsuite tahun 2021 mencatat pengguna internet di dunia telah mencapai 4,66 miliar jiwa. Dari jumlah tersebut, sebesar 4,22 miliar merupakan pengguna media sosial (selular.id, 2021). Realitas ini membawa kita pada penyadaran bahwa tingginya angka penggunaan media dalam dunia maya. Besaran angka tersebut kemudian dilanggengkan pula dengan masifnya informasi yang berkembang yang sejatinya dapat membawa boomerang tersendiri apabila tidak dianalisis dengan bijak. 


Dewasa ini, penggunaan media sosial dalam sarana komunikasi digital turut memantapkan posisi seperti fake news, interaksi sosial nyata yang kian terbatas, pengaruh kesehatan mental hingga hubungannya dengan polarisasi dalam masyarakat. Namun demikian, kita pun tak dapat menutup mata bahwa beragam platform seperti Google nyatanya membawa implikasi positif dalam keseharian. Sayangnya, implikasi ini justru pula dibarengi dengan dampak negatif seperti disebutkan di atas yang kian menyertainya. 


I. Babak baru media sosial

Secara lahiriah, media sosial merupakan sarana informasi kontemporer yang dalam perkembangannya menjadi utilitas ditengah masyarakat. Sependapat dengan hal itu, para founder platform-platform besar seperti Google, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube dsb menyatakan bahwa medium mereka adalah sarana kreativitas untuk menjawab tantangan digitalisasi yang kian pesat. Dari tantangan itu, tentu tidak ada yang menginginkan model bisnis yang berjalan seperti saat ini. Namun demikian, nampaknya unsur kapitalisme terlalu mengakar dalam keberlangsungan platform tersebut. 


Hingga kita menyadari bahwa di satu sisi media sosial tentu membawa kebermanfaatan dalam keseharian, namun disisi lain Ia juga bersifat layaknya ‘monster’ di saat yang bersamaan. Dimana analogi tersebut nampaknya wajar dilayangkan karena media sosial dewasa ini juga nyatanya memiliki kaitan antara kesehatan mental misalnya dengan penggunaan media sosial itu sendiri. Disamping itu, berita palsu kian menjadi lebih maju daripada verifikasi informasi yang sekaligus akan mengancam masyarakat di seluruh dunia. 


Pada dasarnya, media sosial telah mengubah cara interaksi, bekerja dan pengambilan keputusan dalam masyarakat. Ada banyak skandal, pencurian data, kecanduan terhadap teknologi, hoax hingga polarisasi. Beragam kasus dapat kita sajikan untuk membuktikan ganasnya social media ini. 


Apakah Anda masih ingat dengan bagaimana Facebook di Myanmar yang kemudian digunakan sebagai alat propaganda? Saat itu, dilakukan pembersihan terhadap etnis Muslim Rohingya yang begitu sadis dan mengerikan. Pemusnahan umat Muslim secara paksa tersebut ternyata tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana informasi berkembang dan dikelola di negara itu. 


Dalam film dokumenter The Social Dilemma ini, digambarkan dengan jelas bagaimana penduduk Myanmar sangat dekat dengan Facebook hingga akhirnya platform ini digunakan sebagai sumber kebenaran mutlak yang datang dari internet. Diceritakan bahwa penduduk Myanmar pertama kali dalam membeli gawainya akan menginstal Facebook terlebih dahulu daripada aplikasi lain. 


Tentu hal ini kemudian dimanfaatkan pemerintah setempat untuk menjadikan media sosial, dalam hal ini Facebook sebagai senjata propaganda yang ampuh untuk menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian di Myanmar. Maka tak heran apabila Roger McNamee (Early Inverstor Venture Capitalist Facebook), mengatakan bahwa “Jika kita ingin mengendalikan populasi negaramu, tak pernah ada alat yang seefektif Facebook”. Tapi ini bukan hanya tentang Facebook semata, namun juga tentang bagaimana algoritma media sosial bekerja yang dalam pekerjaannya tersebut turut pula mengeksploitasi manusia.  


II. Cara kerja media sosial


Kengerian polarisasi yang seperti terjadi di Myanmar nyatanya belum seberapa jika kita kaitkan dengan bagaimana media sosial bekerja dan kepentingan seperti apa yang menyertainya. Gambaran ini seolah dijawab dalam film dokumenter The Social Dilemma yang berusaha mengungkap tabir tersembunyi dari media sosial itu sendiri. 


Kompleksitas ini akan kita mulai dengan gagasan Aza Raskin yang menyatakan bahwa “If you are not paying for the product, then you are the product”. Realitas ini tentu menggambarkan bahwa dalam dunia digital, perusahaan kapitalisme akan bergantung pada pengiklan demi keberlangsungan perusahaan mereka. Dimana dalam hal ini pengiklan adalah pelanggannya, sedangkan kita (audiens) adalah pengguna yang dijual. 


Dalam upaya keberlanjutan finansial tersebut, perusahaan akan melakukan cara-cara dengan sistem kapitalisme yang membuat penggunanya tak digdaya. Berbagai fitur di Facebook, Instagram, Youtube dan platform lainnya adalah bentuk pesaingan nyata bagi mereka untuk menarik perhatian kita. Beragam platform ini membuat kita terpaku dengan layar. Lalu, bagaimana cara mereka mendapatkan perhatian penggunanya? 


Pada dasarnya, perusahaan ini akan membuat pemodelan mengenai diri kita. ketika pemodelan tersebut terbentuk, perusahaan akan dengan mudah mencatat seluruh aktivitas serta minat yang penggunanya sukai. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘kapitalisme pengawasan’. Sistem ini akan membuat pengiklan harus ‘dipuaskan’ dan tugas perusahaan ialah dengan mengumpulkan banyak data yang pada akhirnya dijual kepada pengiklan. 


Untuk mendapatkan data tersebut, perusahaan-perusahaan ini akan membentuk pemodelan seperti disebutkan di atas dan kemudian muncullah detail jati diri mengenai diri kita, bahkan perusahaan akan mengetahui segala bentuk mengenai siapa kita dan kepribadian sekalipun. “Setiap tindakan yang kita lakukan dipantau dan direkan dengan hati-hati,” (Jeff Seibert, Twitter Former Executive). Pada akhirnya, mereka bisa memprediksi video apa yang akan terus kita tonton misalnya. Lalu, disinilah bisnis model dimulai disaat data kita telah dijual kepada pengiklan, sementara pengiklan akan terus masuk dalam setiap linimasa yang kita buka di platform tertentu. Itulah mengapa data kita dijual untuk kepentingan bisnis. 


Namun, upaya keberlanjutan aspek finansial perusahaan tidak hanya sampai disitu. Karena setelah mereka mengerti secara mendalam mengenai diri kita, selanjutnya mereka akan ‘memaksa’ penggunanya untuk mengundang teman-teman sebanyak-banyaknya. Sehingga perusahaan akan menghasilkan uang dari iklan karena penggunanya. 


Selain itu, kapitalisme ini juga dicerminkan dengan pernyataan yang diamini oleh Arthur C. Clarke yang menyatakan bahwa teknologi pada akhirnya mampu membodohi orang dan hanya manipulatif semata, “Any sufficient advanced technology is indistinguishable from magic”. Maka tidak berlebihan, apabila kita menyebut pengguna ini sebagai bahan kelinci percobaan dari perusahaan dan pengiklan. 


III. Apa yang berubah? 


Implikasi kapitalisme perusahaan elit di atas seakan membuka mata kita secara perlahan mengenai dampak apa yang menyertai penggunaan media sosial yang berlebihan. Disamping itu, nampaknya era kebutuhan informasi tidak hanya menguntungkan bisnis model perusahaan tersebut di atas, namun juga sekaligus melanggengkan perubahan perilaku di tengah masyarakat modern saat ini.


Secara tidak sadar, kita merubah perilaku sosial yang ada sebelumnya menjadi masyarakat teknologi dengan lingkungan yang berbasis kecanduan dan manipulasi. Seperti yang dikemukakan oleh Anna Lembke (Director of Addiction in Stanford University), bahwa media sosial adalah narkoba yang sesungguhnya. Cerminan ini dapat kita lihat pula dengan maraknya anak-anak hingga orang dewasa sekalipun yang sudah kepalang kecanduan media sosial. Ini yang berbahaya. 


Kecanduan ini yang kemudian dapat menyebabkan depresi berkepanjangan karena adanya perubahan validasi sosial yang mapan.  Hal ini pun diamini oleh artikel yang berjudul “Does Social Media Cause Depression?”,  bahwa adanya hubungan antara penggunaan media sosial dan depresi. Dalam beberapa penelitian baru-baru ini, pengguna remaja dan dewasa muda yang menghabiskan paling banyak waktu di Instagram, Facebook, dan platform lain terbukti memiliki tingkat depresi yang dilaporkan secara substansial (dari 13 hingga 66 persen) lebih tinggi daripada mereka yang menghabiskan sedikit waktu di media sosial (childmind.org).


Perubahan dalam mendapatkan informasi seperti yang disebutkan di awal juga membawa implikasi yang signifikan. Bahwa hoax kemudian dapat menyebar dengan cepat di internet sehingga menimbulkan pula polarisasi di tengah masyarakat. Anda dapat mengamati hal berikut melalui bagaimana Covid-19 di Indonesia menjadi wacana yang cukup serius. Pada awal kemunculannya misalnya, para elit negeri ini seakan abai dan tidak menaruh simpati terhadap Covid-19. 


Hal ini kemudian diperparah juga dengan maraknya hoax terkait Covid-19 di Indonesia. Data menunjukkan bahwa terdapat 2.697 kasus hoax di media sosial sepanjang tahun 2020 hingga Maret 2021. Isu hoax tersebut tersebar sebanyak 2.697 di media sosial, paling banyak di platform Facebook dan Twitter. Sementara itu, sudah ada 2.360 konten hoax Covid-19 yang diturunkan, yaitu 1.857 di Facebook, 438 di Twitter, 45 di YouTube dan 20 di Instagram (cnnindonesia.com, 2021). Masifnya kabar bohong yang melanda nyatanya juga menaruh tempat polarisasi terhadap informasi dalam masyarakat yang kemudian berimplikasi nyata terhadap buruknya penanganan Covid-19. 


IV. Puncak klimaks dilema dalam media sosial


Sejatinya, dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin cepat, media sosial seharusnya mendapat posisi yang tidak dilematis seperti dijelaskan di atas. Kita tentu sepakat bahwa masifnya informasi digital melalui media sosial akan berimplikasi positif terhadap majunya era masyarakat informasi dewasa ini. Namun, kita pun tak menampik realitas yang kian semu dari wacana negatif yang ditumbulkannya. Hal ini yang kemudian perlu diketengahkan bersama, bahwa kepelbagaian platform media sosial di atas ternyata memiliki efek serius terhadap penggunanya. Beragam platform ini telah terjebak pada bisnis model yang salah, yang kemudian mereka takut kehilangan sumber pendanaan untuk menjaga kestabilitasan perusahaan. 


Pada dasarnya, perusahaan memang harus memiliki sumber dana dan bisnis model yang jelas, namun yang menjadi boomerang adalah cara mereka mendapatkan kestabilan tersebut yang menjadi diskursus kritisnya. Terlebih, yang paling mengerikan ialah media sosial ini dapat mengganggu sisi emosional penggunanya. Yang dalam cara kerjanya tidak menerapkan prinsip etika privasi terhadap setiap pengguna. 


Tantangan tersebut juga dirasakan dalam tatanan ke-Indonesiaan. Di negeri ini, kita dapat melihat bahwa belum adanya peraturan mengenai hak privasi digital dari khalayak. Regulasi yang belum terimplementasi tersebut tentu menjadi ancaman serius di kala era konvergensi seperti saat ini. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka perusahaan akan dapat lebih semena-mena terhadap penggunanya. Bahkan yang lebih parah ialah mereka akan merusak demokrasi, privasi, dan manusia. Oleh karenanya, perlu pula adanya sikap kritis dari wacana ketidakadilan ini dari khalayak luas. 


Namun demikian, dalam hal ini The Social Dilemma bukanlah hendak mengkampanyekan sikap anti media sosial, lebih jauh daripada itu sebagai instrumen penggebrak untuk memberikan kesadaran dalam menggunakan media sosial dan menjadi pengguna yang bijak dan cerdas.


V. Tawaran


Pada dasarnya, guna mengantisipasi kepelbagaian negatif di atas, khalayak seharusnya dapat menempati posisi sebagai pengguna yang kian sadar akan wacana ketidakadilan tersebut. Mengutip seperti apa yang disampaikan para former media sosial dalam film dokumenter The Social Dilemma, sejatinya pengguna memiliki peranan serius dalam melawan arus negatif yang ada, seperti misalnya dengan mengurangi penggunaan media sosial yang dirasa kurang begitu membawa kebermanfaatan. Bahkan apabila dirasa perlu, hapus segala platform tersebut dan ubah cara kita dalam mendapatkan informasi. Selain itu, guna menghancurkan pemodelan yang dibuat oleh perusahaan, Anda juga dapat bersikap kritis dengan tidak mengklik fitur “rekomendasi” dari berbagai platform tersebut. Hingga pada akhirnya, kita harus berani memutuskan sikap untuk bisa keluar dan tidak termanipulasi oleh sistem yang ada.  


 

Post a Comment

0 Comments