Mengembalikan Marwah Jurnalisme dengan Jurnalisme Perlahan

Jurnalisme perlahan. Ilustrasi: Fatwa Jaka S

Adanya tsunami informasi (flood of information) membuat begitu derasnya arus informasi yang pada akhirnya membuat kita ‘kebanjiran’ akan hal itu. Alih-alih membuat masyarakat kemudian merasa kaya akan pengetahuan, sebaliknya, ia menjadi suatu bencana tersendiri karena masyarakat menjadi bingung dan hilang arah, bak kapal yang hilang akan kompasnya.

Informasi yang serba instan ini membuat kualitas jurnalisme mengalami penurunan, misalnya saja dengan adanya informasi yang salah tafsir dan lain sebagainya.

Jurnalisme perlahan / slow journalism kemudian hadir memperbaiki bencana ini. Bukan melawannya dengan kecepatan, namun demikian dengan kedalaman.

Apa itu slow journalism?

Dalam riset yang dilakukan oleh Neveu (2016) dengan judul on not going too fast with journalism, ia mencatatkan bahwa slow bermakna investigative, in-depth dan selektif akan suatu fenomena.

Slow adalah narasi, fairness, partisipatif, community oriented dan pada akhirnya memberi prioritas pada pengungkapan fakta dengan kedalaman.

Slow journalism dengan demikian dikatakan sebagai sebuah genre baru dalam jurnalisme yang memiliki gaya penulisan tersendiri. Ia hadir seperti halnya gerakan slow movement lainnya, yang mementingkan dan memperlakukan suatu hal dengan semestinya.

Slow journalism banyak dipengaruhi dan meminjam gagasan dari literary journalism yang mementingkan aspek naratif storytelling, segar, dan bersifat longform journalism (Rauch, 2018).

Ia pula banyak terinspirasi oleh slow food movement yang menentang adanya gagasan mengenai fast food.

Aspek yang kemudian banyak membedakan slow journalism dengan jurnalisme lainnya ialah adanya akurasi nilai berita, menghindari sensionalisme, memerlukan waktu untuk mengeksplor suatu peristiwa sehingga informasi dan berita menjadi lebih padat dan jernih.

Sochi Project dan Kinfolk Magazine sebagai case study

Sochi Project adalah transmedia yang dibangun oleh fotografer dokumentari asal Belanda, yaitu Rob Hornstra dan seorang jurnalis dan filmmaker, Arnold van Bruggen untuk menggambarkan cerita tersembunyi dari '2014 Winter Olympic Games' di Sochi, Russia. Mereka banyak bergerak dalam proyek ini dengan melibatkan unsur-unsur slow journalism seperti interactive, in-depth, storytelling dan pada akhirnya membentuk standar dalam jurnalisme modern.

Selain itu, Kinfolk juga melakukan gerakan slow journalism yang sama dengan menggunakan media majalahnya dan menerapkan jurnalisme perlahan ini dalam empat cara, yakni an emphasis on community, advocating for slowness in both production and consumption of content, and a niche editorial presentation.

Adanya dua bentuk media tersebut dalam menerapkan slow journalism tentu menandakan bahwa nafas jurnalisme yang saat ini kian meredup menjadi kembali pada jalannya sebagai penyedia informasi yang akurat, tepat dan kredibel.

Tentu pula media-media saat ini yang hidup dalam ranah fast journalism sepatutnya sudah harus dapat kembali pada marwahnya sebagai medium informasi untuk kebaikan dunia jurnalisme itu sendiri.

A conclusion: Apakah slow journalism akan mengancam bentuk media lainnya?

Dalam studi oleh Gambarato (2015), ia menegaskan bahwa slow journalism bukanlah genre jurnalisme yang berusaha merusak reputasi dari bentuk-bentuk media lainnya. Namun sebaliknya, ia akan melengkapi dan memperbaiki kembali reputasi media-media tersebut agar dapat memulihkan kualitas berita yang sulit ditemui di era fast journalism. Pada akhirnya, adanya slow journalism ini akan membentuk kesempatan baru dalam menawarkan teknologi yang terbarukan.

Post a Comment

0 Comments