Meniti Harap Warga Wadas: Menanti Keadilan di Tanah Kelahirannya

Tugu perlawanan Wadas Melawan. (Kanal Perspektif/Yogie Alwaton)

Ratusan personel polisi datang ke Desa Wadas untuk melakukan pengukuran lahan guna penambangan batu andesit. 

 

Desa itu digepung. Tak boleh ada yang sembunyi, apalagi kabur. 

 

Sungguh kelam penampakan pada 8 Februari 2022 lalu. 

 

“Hak kami sebagai warga negara sudah tidak ada lagi,” ujar Budin, salah satu koordinator Gerakan Peduli Alam Wadas (GEMPADEWA). 


 

Kedatangan itu ternyata beralasan. Diketahui lahan warga Desa Wadas akan dijadikan proyek penambangan batu andesit. 

 

Proyek ambisius ini memang tercatat masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Jokowi-Amin yang berguna untuk pembangunan Bendungan Bener, Purworejo, Jawa Tengah. 

 

Diketahui, batu andesit dari Desa Wadas diklaim memiliki tekstur yang lebih seragam baik ukuran maupun massa dasarnya. Batu andesit ini dimanfaatkan sebagai bahan bangunan atau fondasi dari Bendungan Bener. 

 

Bendungan Bener akan digunakan untuk mengairi sawah seluas 15.519 hektar dan mengurangi debit banjir sebanyak 210 liter/detik, menyuplai air baku sebanyak 1.500 liter/detik, dan menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 6 Mega Watt (MW). Dari 1.500 liter/detik suplai air baku untuk air bersih, porsi terbanyak atau 700 liter per detik akan dialirkan ke Kabupaten Kulon Progo. 


Sisanya, 300 liter, untuk Kabupaten Kebumen dan 500 liter untuk Kabupaten Purworejo. Dari 700 liter untuk Kulon Progo, 200 liter dikhususkan untuk Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), sebuah PSN untuk mendukung aktivitas pariwisata dan perekonomian di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

 

Untuk membangun itu semua diperlukan 1.421 bidang tanah yang harus dibebaskan sebagai pengadaan tanah untuk penambangan batu andesit dalam pembangunan Bendungan Bener. 

 

Penambangan batu andesit inilah yang ditolak keras oleh Warga Wadas. 

 

Tanah Wadas dikatakan merupakan jantung kehidupan warga Wadas. Banyak warga yang bertumpu pada tanah kelahirannya ini. 



Siswanto, warga asli Desa Wadas yang sehari-hari bertumpu pada tanah Wadas beralasan bahwa tanah Wadas adalah tumpuan hidup warga Wadas. 

 

“Yang pasti dan utama, ketika tanahnya dijual, warga menganggap tanah ini adalah tanah warisan. Jadi bukan barang yang dapat diperjual-belikan,”

 

“Warga menganggap tanah wadas adalah identitas yang tidak boleh dijual apalagi dirusak,” ungkapnya. 

 

Tak mengherankan apabila warga Wadas menolak adanya penambangan. Lantaran, memang secara turun menurun mereka bergantung pada tanahnya. 


Setiap keluarga di Wadas bahkan bisa tidak perlu membeli bahan pangan setiap bulan karena telah disediakan secara cuma-Cuma oleh alam Wadas. Setiap keluarga bisa menghemat biaya untuk beras sekitar 420 ribu/bulan, hemat biaya untuk membeli sayuran, bumbu remah, buah-buahan sekitar 600 ribu/bulan, dan hemat biaya untuk membeli lauk ikan air tawar seharga 100 ribu/bulan. Jika ditotal, warga Wadas dapat menghemat sekitar Rp. 1.120.000 / bulan.

 

Jika Desa Wadas ditambang, maka alam Wadas akan rusak dan komoditas pangan seperti padi, sayur, buah, rempah-rempah, ikan air tawar, dan pangan lainnya tidak bisa hidup, sehingga warga Wadas akan mengalami kerugian 1 juta perbulan seumur hidupnya karena harus mengeluarkan biaya pangan yang selama ini bisa dinikmati secara gratis dari alam mereka. 

 

“Sebenarnya hilangnya pekerjaan itu hanyalah salah satu alasan kami menolak tambang. Lebihnya, perusakan alam yang kami takuti, sehingga anak cucu kami nanti tidak akan dapat menikmati indahnya alam Wadas.”

 

“KAMI menolak keras keputusan sepihak pemerintah yang menetapkan alas Wadas seluas 146 hektare atau hampir setengah dari luas desa yang akan dikuasai negara sebagai lokasi penambangan batu  andesit untuk pembangunan Bendungan Bener,” tegas Siswanto.

 

Sebagian besar warga Desa Wadas ini menolak adanya penambangan tersebut lantaran penambangan akan dapat merusak lahan, merusak 28 titik sumber mata air dan hilangnya lapangan pekerjaan mereka. 

 

Penambangan juga menurut warga Desa Wadas akan menjadikan wilayahnya terkena rawan longsor 

 

Warga khawatir pengerukan tanah akan menjadi kawasan rawan bencana tanah longsor.

 

Dampak penambangan terbuka (quarry) dari batu andesit menurut ahli kontruksi bendungan Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa dampak bagi lingkungan hidup atas penambangan terbuka bagi pengadaan material pembangunan Bendungan Bener ialah hancurnya lahan pertanian milik warga, keragaman hayati yang ada hilang, serta 11 desa akan terdampak atas penambangan ini.


Namun, kedatangan ratusan personel polisi untuk melakukan pengukuran lahan seakan membuat mimpi mereka semakin terpuruk. 

 

8 Februari 2022 menjadi hari yang membuat warga Wadas trauma. 


Lampu-lampu dimatikan. Warga Wadas ketakutan.

 

“Kita hidup di negara ini kaya kita teroris atau penjahat.”

 

Siswanto bercerita, pada hari itu warga Wadas sama sekali tidak mendengar informasi apapun mengenai adanya kedatangan personel kepolisian. Tiba-tiba tanpa pemberitahuan aparat datang. Surat-surat tidak ada. 


“Saat itu, ada sekitar 258 aparat yang datang. Seluruh desa dikepung. Aparat melakukan pengukuran. Karena jumlah yang begitu banyak, warga ketakutan dan tidak ada kekuatan untuk melawan.”

 

“Yang hanya dapat kami lakukan hanya berdoa.”

 

“Kalau secara fisik sudah gak kuat, ya secara doa aja yang kami bisa lakukan. Kami meminta kepada Tuhan agar yang tidak diinginkan warga tidak terjadi.”

 

Tak ada satupun warga Wadas terpikirkan situasi kelam ini terjadi. 

 

“Kami ditangkap. Ditangkap bukan karena kami melawan atau menghadang. Kami hanya berdoa di masjid.”

 

“Kami dimintai KTP. Tapi polisi tetap gak percaya.”

 

“Beberapa warga ditonjok, dihajar,” ungkap Budin, warga yang terkena pukulan aparat kepolisian.

 

Ia berkata bahwa warga hanya berusaha melepaskan diri dari kejaran polisi yang mencoba mengangkut mereka ke mobil polisi. 

 

“Anehnya, media gak meliput aksi kekerasan ini. Gak manusiawi kalau diingat-ingat.”

 

“Orang lagi duduk tiba-tiba diseret. Ada juga warga yang berusaha ngambil dokumentasi itu terus direbut sama aparat. Jadi kami gak bisa apa-apa. Semuanya dibungkam,” lanjutnya.

 

Kekerasan disertai pemukulan yang dilakukan aparat kepolisian begitu membekas di benak warga. 

 

Aparat melakukan pengepungan. Anjing pelacak pun disebarkan.  

 

“Yang membuat warga takut itu karena aparat yang sebegitu banyak dan warga tidak tau apa-apa. Mereka pake senjata lengkap.”

 

“Kami dulu pernah ada di jaman PKI. Dulu gak seserem ini. Lah kok ini serem banget.”

 

KOMNAS HAM melaporkan setidaknya ada 13 temuan pelanggaran penting terkait insiden di Desa Wadas pada 8 Februari lalu. Komnas HAM menyebut bahwa pada hari itu terdapat penggunaan kekuatan secara berlebihan oleh Polda Jawa Tengah yang ditandai dengan pengerahan personil dalam jumlah besar. Dalam pengerahan aparat itu juga terdapat tindakan kekerasan dalam proses penangkapan. Komnas HAM menemukan adanya pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman masyarakat, serta hak anak (Tempo, 2022).

 

Atas kejadian ini, warga Wadas yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) tentu tidak tinggal diam. Hingga saat ini, mereka telah banyak melakukan upaya untuk menyelamatkan tanah kelahirannya. 

 

Misalnya dengan gugatan bahwa penambangan batu andesit ini dianggap ilegal. 

 

Diketahui, pada tanggal 28 Juli 2021, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM menerbitkan Surat Nomor T-178/MB.04/DJB.M/2021 perihal Tanggapan atas Permohonan Rekomendasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangunan Bendungan Bener. Surat tersebut pada intinya memperbolehkan rencana pertambangan di Wadas dilakukan tanpa izin pertambangan. 

 

Padahal, menurut LBH, penambangan ini adalah penambangan ilegal, karena tidak adanya surat izin pertambangan yang memperbolehkan penambangan batu andesit di Desa Wadas. 

 

Hal inilah yang masih terus dipertahankan GEMPADEWA untuk melawan. 


“Waktu itu kami gugat ke PTUN Semarang. Namun dikalahkan. Tapi pemerintah menganggap bahwa memiliki data riil. Padahal kami masih menolak. Setelah itu, tanggal 31 Januari kemarin kami mendapatkan keputusan peradilan yang menganggap bahwa rekomendasi dari Dirjer Minerba masih belum final. Tapi fakta dilapangan sudah ada pembukaan lahan. Padahal harusnya belum bisa dilakukan. Mereka sebenarnya sudah melanggar aturan hukum. Tapi pemerintah berdiam diri.”

 

Sebelum itu, penolakan juga telah dilakukan dari saat proses penelitian yang dilakukan di Desa Wadas pada tahun 2015 lalu. 

 

“Dulu, proses penelitian sudah kita tolak. Audiensi juga telah banyak kami lakukan. Kemudian pada tahun 2018 itu kan ada 3 tahapan, ada sosialisasi, konsultasi publik dan penetapan IPL. Dan semua itu sudah kita tolak sebenarnya. Tapi pemerintah seperti tidak pernah mau mendengar dan merespon kami. Mereka terus menjalankan penambangan ini. Seolah-olah kami yang asli orang sini tidak dianggap. Sampai saat ini juga sudah membuka akses untuk quarry. Padahal penolakan warga masih kencang.”

 

Kini muncul di berbagai pemberitaan media massa yang menyebut bahwa warga Wadas telah menerima Uang Ganti Rugi (UGR) dan menerima lahannya dibebaskan. Namun, warga GEMPADEWA tetap bersikukuh tanahnya untuk tidak dirusak.

 

“Yang dibutuhin pemerintah lahannya luas. Jumlahnya 145 hektar dengan jumlah bidang 600 bidang. Dalam jumlah itu memang pemiliknya tidak semua warga Wadas. Ada pendatang. Karena mereka tidak memiliki dampak langsung makanya akhirnya mereka nyerahin. Mereka memang mendapatkan UGR. Tapi nominalnya juga beda.”

 

“Kami gak goyah sama UGR itu. Pikiran kami soal jangka panjang. Tanah ini tetap akan kami perjuangkan,” tegas Siswanto. 

 

“Harapan kami sebenarnya sederhana.”

 

“Pertama, hentikan rencana pertambangan di Wadas. Warga mengetahui persis dampak langsung yang akan diterima. Warga memiliki alasan yang kuat. Ini akan membahayakan alam. Kedua, semoga harapan dan aspirasi kami juga bisa didengar sama pemerintah.”

 

Demikian, doa dan upaya nyatanya terus mengalir bagi warga Desa Wadas. 

Post a Comment

0 Comments