Jika pada wartawan amplop, sang wartawan yang diberi
uang, tapi tidak demikian dengan checkbook journalism. Ini
adalah kebalikannya. Pada intinya, wartawan ini justru
memberikan sejumlah uang kepada sumber berita sebagai
imbalan untuk memperoleh informasi eksklusif. Biasanya
ini terjadi apabila narasumber berita tidak bisa diakses.
Di
Indonesia, fenomena ini pernah terjadi. Misal saja seorang
wartawan ekonomi pada masa orba yang mengaku sering
memberikan uang kepada satpam yang bertugas di rumah Menteri Pertanian kala itu. Dengan memberikan uang itu, la
diizinkan masuk dan bertemu menteri. Padahal, wartawan
lain tidak pernah mendapatkan izin itu.
Persoalan yang
kemudian muncul, apakah ini melanggar kode etik?
Jawabannya sangat dilematis. Ini karena, salah satu tugas
wartawan adalah menyampaikan kebenaran atas informasi
yang diperolehnya.
Terlebih jika berita yang digali merupakan berita eksklusif
dan investigatif.
Pada satu sisi, ini bisa dibenarkan, selagi
wartawan itu menyampaikan kebenaran yang
dipertanggung jawabkan pada publik. Ini karena memang
sangat sulit mendapatkan informasi yang sifatnya rahasia
itu. Meskipun harus melalui jalur checkbook journalism,
nampaknya ini sah-sah saja dilakukan. Tapi mesti diingat,
fenomena semacam in merupakan eksklusivitas berita.
Dalam arti lain, ia sangat ditentutkan oleh uang. Media-
media kecil nampaknya akan kesulitan mendapatkan akses
informasi itu.
Kalau sudah begini, apa yang menjadi
tawaran? Sulit menjawabnya. Namun yang pasti,
seharusnya narasumber berita harus mampu menyediakan
dirinya pada wartawan. Ini agar tercipta lingkungan
informasi yang mudah diakses seluruh wartawan. Dan
dengan demikian, publik pun mendapatkan berita yang
transparan.
0 Comments