Menimbang Demokratisasi Partai Politik di Parlemen



Rekapitulasi suara Pileg 2019. Sumber: Kompas.com


Selain mengenal istilah presidential threshold yang pada hakekatnya berbicara soal ambang batas pilpres yang harus dipenuhi oleh parpol, yakni sebanyak 20% suara sah nasional, sistem politik Indonesia juga menganut parliamentary threshold. 

Parliamentary threshold ini adalah ambang batas parlemen yang harus dipenuhi partai politik peserta pemilu legislatif (pileg) untuk dapat melenggang ke Senayan. 

Dalam kesejarahannya, aturan ini pertama kali diterapkan dalam Pileg 2009 sebesar 2,5% melalui UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Ambang batas parlemen kemudian dinaikkan menjadi sebesar 3,5% pada Pileg 2014, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012. Lewat ambang batas tersebut, ada 10 partai yang berhasil menduduki DPR. Lalu, pada Pileg 2019, ambang batas parlemen kembali dinaikkan menjadi 4%. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi:

"Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR."

Sementara itu, kita masih menggunakan sistem yang sama dengan ambang batas yang sama pula pada pergelaran pemilu 2024. Ini dicatatkan dengan adanya presentase sebesar minimal 4% untuk parpol agar bisa menitipkan anggota legislatifnya di DPR RI. 

Pada 2019 lalu, jelas presentase ambang batas dikuasai oleh PDI Perjuangan dengan suara sebesar 19,33%, kemudian disusul Gerindra 12,57%.

Yang menjadi menarik, tentu bagi parpol yang ambang batasnya tidak berhasil mencapai 4% itu. Dalam arti lain, parpol yang berhak menempatkan wakilnya di parlemen (DRP RI) harus meraih suara minimal 4% dari total suara sah secara nasional. 

Sebetulnya, di satu sisi, sistem ambang batas parlemen ini diterapkan untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian. 

Namun, di sisi lain ambang batas parlemen ini kerap dinilai sebagai hambatan bagi partai politik kecil untuk masuk ke parlemen. 

Dengan begitu, demokratisasi parpol di parlemen itu menjadi itu-itu saja. 

Namun demikian, apakah memang betul bahwa perolehan ambang batas itu juga mencerminkan 'kelayakan' parpol di mata publik? Sulit menjawabnya. Namun, dari tahun ke tahun memang hanya parpol besar itu yang mendominasi Pileg. Ini tidak diketahui pasti apa variabelnya. Namun nampaknya, dibutuhkan solusi bagi parpol-parpol itu. 

Alhasil, untuk mengatasi persoalan itu, parpol 'kurang bagus' di mata publik ini harus melakukan strategi-strategi politik yang strategis. Ini berlaku apabila mereka ingin betul-betul melenggang ke Senayan. 


Yogie Alwaton - Pemimpin Umum Kanal Perspektif

Post a Comment

0 Comments