Sementara itu, kita masih menggunakan sistem yang sama dengan ambang batas yang sama pula pada pergelaran pemilu 2024. Ini dicatatkan dengan adanya presentase sebesar minimal 4% untuk parpol agar bisa menitipkan anggota legislatifnya di DPR RI.
Pada 2019 lalu, jelas presentase ambang batas dikuasai oleh PDI Perjuangan dengan suara sebesar 19,33%, kemudian disusul Gerindra 12,57%.
Yang menjadi menarik, tentu bagi parpol yang ambang batasnya tidak berhasil mencapai 4% itu. Dalam arti lain, parpol yang berhak menempatkan wakilnya di parlemen (DRP RI) harus meraih suara minimal 4% dari total suara sah secara nasional.
Sebetulnya, di satu sisi, sistem ambang batas parlemen ini diterapkan untuk mengurangi jumlah partai politik di parlemen dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian.
Namun, di sisi lain ambang batas parlemen ini kerap dinilai sebagai hambatan bagi partai politik kecil untuk masuk ke parlemen.
Dengan begitu, demokratisasi parpol di parlemen itu menjadi itu-itu saja.
Namun demikian, apakah memang betul bahwa perolehan ambang batas itu juga mencerminkan 'kelayakan' parpol di mata publik? Sulit menjawabnya. Namun, dari tahun ke tahun memang hanya parpol besar itu yang mendominasi Pileg. Ini tidak diketahui pasti apa variabelnya. Namun nampaknya, dibutuhkan solusi bagi parpol-parpol itu.
Alhasil, untuk mengatasi persoalan itu, parpol 'kurang bagus' di mata publik ini harus melakukan strategi-strategi politik yang strategis. Ini berlaku apabila mereka ingin betul-betul melenggang ke Senayan.
Yogie Alwaton - Pemimpin Umum Kanal Perspektif
0 Comments