Apatisme Gen Z Pada Politik: Benarkah Demikian?

Demonstrasi di Yogyakarta. (Kanal Perspektif/Yogie Alwaton)


Ada banyak stigma yang melekat pada Gen Z belakangan ini. Mulai dari apatis terhadap politik, mudah termakan gimik, dan seterusnya. Namun benarkah demikian?

Sebuah riset berjudul "Antusiasme Gen Z untuk Pemilu Indonesia 2024" bisa menjadi jawaban. Dalam penelitian itu, disebutkan bahwa kebanyakan dari mereka mengasumsikan situasi politik Indonesia dengan sentimen yang negatif. Analisis sentimen yang kerap sering muncul adalah kata kacau, rumit dan berantakan.

Dari pengantar di atas, sebetulnya kita bisa melihat dan menarik hipotesa sementara bahwa mayoritas Gen Z tidak tertarik dengan dunia politik karena berbagai macam faktor yang melatarbelakanginya. Namun demikian, asumsi dan hipotesa itu tidak bisa menjadi tolak ukur dalam menarik kesimpulan. 

Atas dasar itulah, Kami pada akhirnya melakukan kajian jurnalistik ini dengan sifat liputan khusus untuk mengetahui jawaban mereka. 

Didasari oleh sifat jurnalisme yang harus menjadi medium informasi pembacanya, kami percaya melalui cara ini sedikit banyak akan membuka ruang diskusi yang lebih luas terkait preferensi politik Generasi Z. 

Dengan menggunakan metode akademis yang dipadukan dengan seni jurnalistik, kami melakukan pengumpulan data dengan instrumen wawancara terstruktur kepada 8 orang mahasiswa/i Telkom University, Bandung. Informan dipilih dengan maksud dan tujuan tertentu (purposive sampling) dengan menyasar khusus kalangan Gen Z, yakni yang memiliki rentan usia 19-24 tahun. Adapun wawancara telah selesai dilakukan dalam rentang waktu satu (1) hari.

Kami sebetulnya sepenuhnya sadar bahwa liputan ini tidak akan mencerminkan seluruh preferensi politik mereka karena fokus kajian yang begitu terbatas. Namun kami percaya ini akan menjadi langkah awal dalam mengetahui preferensi politik seperti apa yang dimiliki Gen Z.

Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan kami akan menggunakan metode yang populasi dan jangkauan wilayahnya lebih besar kedepannya.

Hal ini kami lakukan atas dasar kepedulian terhadap kesadaran berpolitik mereka sekaligus menjadi saran akademis bagi pemangku kepentingan agar mampu menjawab permasalahan Gen Z terkait ketertarikan politiknya.

Dalam narasi sedemikian, Kanal Perspektif akhirnya berkesempatan untuk berbincang dengan 8 orang informan (yang mewakili kalangan Gen Z) mengenai preferensi politik mereka. Berikut hasil telaah kami:


  • Menurutmu, benarkah Gen Z apatis terhadap politik?

"Tidak bisa digeneralisir. Karena ada dua kubu yang saling berseberangan. Memang ada Gen Z yang apatis terhadap politik karena mereka menganggap politik terlalu banyak permainannya, hoaksnya dan lain sebagainya. Namun ada juga sebenarnya yang masih aware terhadap politik".

Dengan nada sama tegasnya, informan lain turut mengatakan hal yang sama, "Memang banyak Gen Z yang apatis terhadap politik karena menurut mereka politik terlalu banyak permainannya yang bisa menjadi pemicu perselisihan, namun ada juga yang masih aware terhadap politik. Jadi tidak benar untuk mengeneralisirkan bahwa Gen Z apatis terhadap politik. Gen Z bahkan seringkali memperjuangkan masalah-masalah lingkungan, HAM, gender, ekonomi, dan sosial melalui berbagai wadah untuk mempengaruhi opini publik dan pandangan politik".

Memang ada Gen Z yang apatis terhadap politik karena mereka menganggap politik terlalu banyak permainannya, hoaksnya dan lain sebagainya. Namun ada juga sebenarnya yang masih aware terhadap politik".

  • Mengapa banyak glorifikasi yang menyebutkan Gen Z tidak tertarik dengan politik?
"Karena politik itu rumit dan terlalu identik dengan orang dewasa, alhasil jarang sekali anak muda yang pada akhirnya terlibat dengan dunia politik".

"Gen Z juga grew up with technology. Jadi dari pemikiran juga berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka terbiasa doing something fun dari kecil karena udah disuguhi dengan akses internet, game dan lainnya, makanya mereka suka hal-hal yang fun dan kreatif. Sebagai anak Gen Z pun saya berpikiran bahwa emang politik itu hal yang serius, kaku dan kolot makanya wajar aja kalau banyak yang kemudian mengglorifikasi karena stigma politik ini yang berbanding terbalik banget sama Gen Z," tegas informan lainnya.

Sebagai anak Gen Z pun saya berpikiran bahwa emang politik itu hal yang serius, kaku dan kolot makanya wajar aja kalau banyak yang kemudian mengglorifikasi karena stigma politik ini yang berbanding terbalik banget sama Gen Z.

  • Peran apa yang harus dilakukan Gen Z untuk menjadi bagian dalam masyarakat politik?
"Peran yang paling mendasar adalah setiap Gen Z harus bisa meningkatkan literasi politiknya dulu. Bisa juga dengan melakukan diskusi sama teman dekat atau keluarga".

Disamping itu, satu informan juga mengomentari pertanyaan ini dengan nada cukup kritis, 
"Kalau kita liat berita politik yang kurang enak rasanya seperti mau mengubah dunia itu jadi lebih baik. Kadang saya suka mikir kayanya saya tidak cukup kalau hanya sampe tahap itu. Karena kita sebetulnya harus punya peran besar untuk merubah dunia politik. Tapi kita bisa mengolah informasi yang ada karena tidak semua informasinya valid. Selain itu, di KPOP kita juga punya cara tersendiri untuk menerjemahkan Bahasa Korea dari idol ke fans Indo. Nah salah satu Gen Z pendukung Pak Anies punya taktik yang sama. Jadi, kalau Pak Anies lagi live, dia akan membuat update di Twitter seolah-olah Pak Anies adalah artis KPOP. Dari sini, saya bisa berkesimpulan mungkin peran kecil ini bisa kita gunakan untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat politik".

Peran yang paling mendasar adalah setiap Gen Z harus bisa meningkatkan literasi politiknya dulu. Bisa juga dengan melakukan diskusi sama teman dekat atau keluarga.

  • Gen Z termasuk pemilih muda yang suaranya menjadi mayoritas dalam pemilu 2024. Karenanya, suaranya menjadi penting. Namun pada saat yang sama Gen Z seringkali menjadi sasaran empuk penyebaran informasi bohong dan propaganda. Apa hal yang harus anda lakukan dalam mengatasi fenomena ini?
"Kita bisa meningkatkan literasi politik dengan menjadi lebih kritis dalam mencari informasi dari sumber yang kredibel".

"Kita juga bisa mengatasi hal ini dengan tidak terlalu percaya pada apa yang kita lihat karena media pun cenderung punya kepentingan yang bisa bias informasinya". 

Informan lain turut merespon hal ini, misalnya dengan "Sering juga aku nemuin di media sosial ada satu akun bikin video black campaign dengan menjelek-jelekkan salah satu paslon. Di komen itu banyak orang yang berdebat dan berargumen satu sama lain. Tapi kalau kita pinter terus bisa mencari informasi yang valid di internet dari situ aja kita bisa tahu apakah video itu valid atau hoax. Jadi menurutku dalam mengatasinya kita tidak bisa menghentikan arus informasi yang salah itu, tapi kita bisa melengkapi diri kita agar gak tertipu dan gak dibodoh-bodohin dengan video-video yang menipu dan statement yang palsu. Jadi itu memang sifatnya personalized dan balik lagi ke kita sendiri".

Kita bisa meningkatkan literasi politik dengan menjadi lebih kritis dalam mencari informasi dari sumber yang kredibel.

 

  • Tak sedikit pula yang menyebut generasi Anda mudah termakan gimik politik. Benarkah demikian?
"Betul. Karena ada konten di tiktok yang membuat survey ke Gen Z dengan menanyai soal pilihan di pilpres 2024. Di konten itu sebenarnya ada yang memilih Prabowo, ada juga Ganjar dan Anies. Tapi ketika ditanya kenapa misalnya milih Prabowo, jawabannya karena gemoy. Jadi gemoy ini adalah salah satu hal yang menjual apalagi dengan joget gemoy. Nah gemoy ini sangat bisa menggiring opini".

Dengan pernyataan yang sama, informan lain turut berkomentar, "Benar. Karena saya pun pernah termakan gimik gemoy dan slepet. Dan sebenernya gimik-gimik itu paling mudah menempel daripada kalau kita membandingkan dengan visi atau misi yang begitu banyak dan terlalu memusingkan". 

"Cuma ini bisa jadi strategi yang bagus di masa pemilu, cuma gimik ini harus stay in line karena kalau ada yang salah dari gimiknya udah pasti either bakal dihujat banget atau bisa jadi blunder buat paslonnya," balas informan lainnya. 

Cuma ini bisa jadi strategi yang bagus di masa pemilu, cuma gimik ini harus stay in line karena kalau ada yang salah dari gimiknya udah pasti either bakal dihujat banget atau bisa jadi blunder buat paslonnya.

  • Dalam hal media, seberapa besar pengaruh media dan media sosial dalam menjadi preferensi politik Anda?
"80%. Karena konsumsi media kita paling banyak adalah media massa dan media sosial. Jarang kita preferensi politiknya dari buku, penelitian, jurnal-jurnal ilmiah dan lainnya. Karena media-media itu tadi paling banyak diakses, jadi tentu sangat berpengaruh ke keputusan dan preferensi politik dari Gen Z".

Karena media-media itu tadi paling banyak diakses, jadi tentu sangat berpengaruh ke keputusan dan preferensi politik dari Gen Z.

  • Lantas, apakah media sudah menjalankan tugasnya dengan baik?
"Masih perlu dievaluasi untuk memastikan media menyajikan representasi isu politik yang seimbang. Karena saat ini masih banyak media bayaran".

  • Menurut Anda, apa solusi yang harus diberikan oleh stakeholders pemerintah dalam membangun kesadaran berpolitik kaum muda?
"Pemerintah harus aktif membangun literasi politik di masyarakat seperti menciptakan ruang dialog terbuka, kemudian membuat akses informasi mudah dijangkau dan bisa melibatkan Generasi Z dalam proses pengambilan keputusan".

"Hal lain juga bisa dengan memperkuat pendidikan politik di sekolah, mengurangi adanya intimidasi dan diskriminasi terhadap anak muda yang peduli dengan isu politk dan memberi kesempatan kepada kaum muda untuk terjun ke dunia politik dan pemerintahan," ucap informan lain. 

  • Akankah Anda menggunakan hak suara Anda pada pemilu 2024?
"Jelas akan menggunakan hak suara pada pemilu 2024 karena satu suara sangat berpengaruh. Setidaknya ada kontribusi untuk indonesia kedepannya".



Daftar informan:
Adinda Az-Zahra Zhafira Ul-Haq
Agnes Pratiwi
Angelique Larasati Wahyu Adjiputri
Astri Khoerun Nisyah
Asyifa Qurrota A'yun
Muhammad Ariodimas Abyanu
Ni Wayan Vidya Warimaga Dewi
Taqiyudin Muhammad Humam

Post a Comment

0 Comments