Ketika Media Tak Lagi Substantif Dalam Memberitakan Debat Capres

Sumber foto: BBC Indonesia


Beberapa waktu lalu saya membaca tullisan Kompas, lead beritanya kira-kira begini, "Konten paling sering muncul saat debat capres bukan hal serius, melainkan kegiatan menarik atau lucu capres-cawapresnya". 

Sampai sini, sebetulnya kita bisa melihat kalau berita yang lalu-lalang di algoritma media saat ini memang lebih mengutamakan hiburan semata. 

Tapi, disaat yang sama wartawan kita juga sepertinya lupa satu tugas penting yang harus ia jalankan. Wartawan ini sebenarnya tidak mendidik pembacanya. Ia hanya melakukan tugas jurnalistik 'to inform' tapi tak sampai ke 'to educate'. Akhirnya pemberitaan pun tak jauh dari berita sensasional dan kabur akan substansial. 

Padahal, tuntutan para pekerja media ini sungguh berat. Mereka tak hanya mesti tunduk pada aturan etika jurnalisme, lebih daripada itu, mereka juga harus mampu mengamalkan salah satu elemen jurnalisme penting dari Bill Kovach & Tom Rosenstiel, yakni 'proporsional'. 

Elemen itu pada hakikatnya mewajibkan seluruh wartawan harus proporsional dan tidak sensasional dalam memberitakan peristiwa.

Dalam konteks debat capres-cawapres pemilu 2024, wartawan pun harus melakukan hal yang sama.

Mereka harus memberitakan hasil debat capres-cawapres itu dengan proporsional dan jelas. Proporsional disini memiliki makna memberitakan suatu informasi dengan sesuai pada porsi pemberitaannya. Contohnya, ketika peristiwa yang diberitakan berkaitan dengan debat, maka gagasan-gagasan debat itulah yang seharusnya diberitakan, bukan berita-berita yang tak ada kaitannya dengan itu. 

Berita sensasional yang fatal

Akibat dari pemberitaan yang tak substantif dan cenderung mengaburkan makna ini pada akhirnya dapat menjadi sesuatu yang fatal. Ini karena media sebetulnya punya peran penting. Bayangkan saja ketika media justru tak substantif dalam memberitakan debat hal ini dapat saja kemudian menguntungkan salah satu paslon. 

Contoh nyatanya ialah soal berita Prabowo Gemoy yang sangat meramaikan jagat media sosial. 

Betapa besarnya pengaruh media ini bahkan membuat elektabilitas paslon 02 ini menanjak. Efek "Prabowo Gemoy" pada akhirnya membuahkan hasil. Survey IPI beberapa waktu lalu mencatat elektabilitas Prabowo-Gibran jauh meninggalkan pesaing terdekatnya, yakni Ganjar-Mahfud dan Anies-Cak Imin. Adapun salah satu faktor penting yang membuat elektabilitas Prabowo naik ialah karena adanya branding 'Prabowo Gemoy' tersebut. 

Hal yang kurang lebih sama dilakukan oleh Muhaimin Iskandar dengan sarung slepetnya yang bahkan hal ini dijadikan strategi politik mereka. Yang agak berbeda justru paslon nomor urut 03 yang nampaknya tak memakai strategi ini. 

Media pada akhirnya saling berlomba-lomba memberitakan aspek-aspek non substansial itu dalam pemberitaannya. 

Dari sini kita bisa melihat bagaimana media dapat memengaruhi pembacanya dan menjadikan media sebagai ajang preferensi politik pemilih. 

Oleh karena itu, media hendaknya dapat lebih bijak memberitakan debat dan proporsional dalam pemberitaannya. Jangan sampai satu elemen jurnalisme "berita harus proporsional" itu hanya kata-kata yang menjadi pajangan dan tak pernah dibaca apalagi disentuh oleh para wartawan. 

Post a Comment

0 Comments