Pernyataan sikap guru besar UGM. Foto: Sindonews.com |
Berulang kali saya dihadapkan dengan pertanyaan yang maknanya selalu sama.
"Sebenarnya apa peran intelektual?"
"Mengapa kita butuh kaum intelektual di negeri ini?"
Dua pertanyaan itu nampaknya selalu membekas dan seakan melekat di dalam benak.
Sontak, saya terdiam sebentar.
Sembari memikirkan jawaban apa yang harus saya lontarkan kepada kaum-kaum 'pemikir' itu.
Beberapa waktu berpikir, saya lalu teringat pada apa yang selalu diucap oleh seorang filsuf terkemuka barat, Jean-Paul Sartre (1905-1980).
"The true intelectual". Itulah kalimat yang ia katakan.
Tentu banyak aspek yang bisa kita hubungkan dari pertanyaan kaum-kaum 'pemikir' itu. Namun, nampaknya pertanyaan mereka seakan tertuju pada persoalan etika presiden tercinta kita.
Jokowi dan Nir-etikanya
Kita telah menyaksikan para guru besar itu mengomentari Jokowi, sang maestro dan seorang legenda dalam penciptaan dinasti politik. Tentu saja, komentar profesor dari berbagai perguruan tinggi ini seakan menjadi angin segar dan harapan tersendiri bagi bangsa yang tengah dirundung persoalan akut. Katakan saja, soal pelemahan demokrasi; meningkatnya sikap antikonstitusionalisme oleh penguasa; hingga pelemahan etika dalam kehidupan politik.
Sartre dalam pandangannya menyebut apa yang dilakukan para kaum intelektual saat itu sebagai 'hakikat intelektual sejati'.
Dari masa ke masa, para intelektual sejati ini menjadi salah satu elemen yang cawe-cawe untuk turut melakukan berbagai perbaikan bangsa ini, mulai dari turut menginisiasi kemerdekaan hingga menumbangkan kezaliman sebuah rezim kekuasaan.
Artinya, para intelektual itu memang sudah seharusnya berpikir dan melakukan pernyataan sikap itu. Itulah marwah mereka.
Tentu saja, kaum intelektual yang tak perduli dengan isu sosial politik seperti ini tidak pantas disebut intelektual sejati. Mereka adalah false intellectual.
Mereka hanya menikmati remah-remah pemikiran pragmatis dari para penguasa dan rezim negeri ini.
Mereka, diam dalam kekuasaan.
Demikianlah, sebagai suatu negara yang dikatakan demokratis ini, pemikiran oposisi harus tetap ada. Oposisi inilah yang kemudian disebut sebagai noise. Sedang mereka yang berkuasa disebut voice. Noise adalah nafas demokrasi. Mereka sebagai penyeimbang dari pemikiran-pemikiran kritis. Diantaranya termaktub dengan adanya aksi-aksi massa, termasuk di dalamnya juga berkaitan dengan peran intelektual sejati yang mengomentari rezim Jokowi.
Respons penguasa
Sayangnya, respons penguasa dari kegelisahan itu biasa saja. Alih-alih memperhatikan pandangan kritis itu secara sungguh-sungguh dan substansial, respons kekuasaan tampak sambil lalu. Presiden sebagai obyek kritik secara singkat meresponsnya sebagai "bagian dari demokrasi". Itu saja.
Harian Kompas pun dalam terbitannya menyebutkan bahwa mereka yang dibiarkan kritis ini pada akhirnya hanya merupakan aksesori politik tanpa makna besar. Kalangan itu dibiarkan hidup dan terus menyuarakan rasionalitas, tetapi seperti berteriak di padang pasir. Sebab, kenyataannya, kebijakan penguasa tetap terlaksana, termasuk yang paling menabrak hakikat demokrasi secara substansial ataupun proseduran sekalipun.
Akhirnya, dalam pandangan saya, intelektual memang harus sejati. Ia tidak boleh berperan sebagai boneka penguasa. Ia harus kritis dalam pemikirannya. Dalam isu apapun.
Teruslah tumbuh pemikiran besar kaum intelektual.
Teruslah mengakar kuat idealisme kaum 'pemikir' itu.
Dengan begitu, nafas demokrasi kita menjadi nyata.
1 Comments
mantapp mass
ReplyDelete