Imbasnya lagi-lagi rakyat kecil. Foto: istokphoto/vladwel |
Kalau dilihat-lihat, tujuannya memang bagus. Tapi akan menyakiti pedagang kecil yang tak punya modal besar dan menjadikan rokok eceran sebagai salah satu jalan mengais rejeki.
Tepat sepuluh hari sejak pemerintah resmi melarang penjualan rokok secara eceran. Hal ini tertuang
pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan
Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan diteken
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 26 Juli 2024 dan langsung berlaku.
"Setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik: a.
menggunakan mesin layan diri; b. kepada setiap orang di bawah usia 21 tahun dan
perempuan hamil; c. secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk
tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik," tulis penggalan Pasal 434 aturan
tersebut.
Jika kita simak
peraturan ini, kita akan menemukan begitu besar niat baik didalamnya. Namun,
nampaknya ada sisi yang luput diperhatikan, yaitu pedagang kecil. Peraturan ini
jelas merampas ruang pedagang kecil, warung-warung pinggir jalan, sampai
pedagang asongan yang keliling di setiap tempat keramain.
Bukan tanpa
alasan, mereka berani menjual rokok eceran tentu saja karena tak punya modal
besar. Selain itu, rokok eceran juga punya margin profit yang lebih tinggi
dibandingkan menjualnya secara bungkusan.
Bagi saya
hal ini tentu merugikan mereka yang sehari-hari sudah kesulitan ekonomi.
Apalagi pelanggan mereka tidak semuanya dibawah umur. Ada ruang padat karya
seperti petani dan buruh yang kerap membeli rokok ketengan. Jika melarang
menjual ketengan karena khawatir dengan anak sekolah, seharusnya alasan ini
belum cukup.
Memang
perlu diadakan pengawasan ketat dan ekstra mengenai penjualan rokok ketengan di
sekitar sekolah. Namun akan lebih baik jika dilakukan sosialisasi bahaya
merokok terlebih dahulu. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu
anggota DPR Komisi IX Rahmad Handoyo yang dikutip oleh Detik.
“Penting juga sebelum menerapkan larangan ini, Pemerintah
melakukan kampanye publik yang luas dan intensif untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang bahaya rokok,” kata Rahmad Handoyo pada Rabu (31/7/2024).
Rahmad juga mengatakan bahwa Pemerintah harus tetap
memperhatikan pelaku usaha kecil yang selama ini menjadi subjek penjualan rokok
eceran.
"Para pedagang asongan dan pedagang kali lima (PKL),
warung-warung kecil, kita dorong kepada Pemerintah untuk tetap memberikan
ruang, agar mereka tetap tumbuh," tambahnya
Maraknya penjualan rokok eceran juga bukan tak beralasan. Pertama, banyak sekali rakyat
kecil yang tak mampu beli rokok bungkusan, tapi ingin tetap merasakan rokok
enak. Kedua, banyak sekali pedagang kecil yang tak punya modal besar sehingga rokok
ketengan menjadi salah satu alternatif mendapatkan cuan.
Rakyat kecil selalu kena imbas
Sebelumnya,
saya tak paham betul bahwa dampak dari peratuan ini bisa melukai rakyat kecil.
Namun setelah mengobrol dengan sahabat karib saya bernama Dimas*(29), semua
jadi nampak masuk akal.
Dimas
adalah pelanggan setia rokok ketengan. Bukan rahasia umum bahwa rokok
yang dijual secara eceran pasti merupakan rokok golongan 1 seperti Gudang Garam,
Djarum Super yang punya harga selangit saat dibeli per 1 bungkus. Ini jadi salah satu alasan kenapa ia gemar
membeli rokok ketengan. Ia yang tak mampu membeli rokok bungkusan dan masih
ingin merasakan rokok yang enak, tentu akan memilih rokok ketengan
karena dianggap lebih ekonomis.
Dimas
mengatakan bahwa sehari ia biasa menghabiskan 4 batang. Satu dihisap sebelum
berangkat bekerja, satu lagi untuk setelah makan siang, dan sisanya setelah
makan malam.
“Untuk
orang pas-pas’an seperti saya mendingan beli ketengan to,” ungkapnya dengan
bahasa Jawa.
Sikap ini
sebetulnya muncul karena ia juga ingin menabung dan mengurangi jumlah konsumsi
rokok secara perlahan.
0 Comments