Wartawan Tak Boleh Diintimidasi

Jurnalis bukan target kekerasan. Foto: Tribunnews.com


-Without freedom of press, there are no real democratic societies-


Tentu masih tersisa rasa sakit yang begitu mendalam di benak para wartawan dalam meliput aksi demonstrasi Tolak RUU Pilkada, Kamis (22/8/2024) lalu. 

Mereka yang awalnya tiba di lokasi kejadian hanya berniat melaporkan fakta, namun yang terjadi justru menjadi bulan-bulanan aparat dan penguasa.

Padahal, para wartawan itu sudah memakai atribut yang lengkap. Memakai rompi, kartu identitas hingga peralatan wawancara. 

Tapi apalah daya, aparat itu nampaknya tak benar-benar peduli. 

Yang mereka tahu hanyalah melakukan intimidasi. Mereka tak mengenal warga sipil, peserta demonstran bahkan wartawan yang tak seharusnya mendapat kekerasan. 

Kekerasan terhadap wartawan ini memang seakan menjadi fenomena biasa dalam aksi demonstrasi. Dalam aksi #KawalPutusanMK beberapa waktu lalu misalnya, aksi intimidasi pada wartawan kembali terjadi. Beberapa contoh kasus di bawah ini menjadi buktinya. 

Narasi

Ada dua orang jurnalis Narasi yang diintimidasi oleh polisi pada aksi tolak RUU Pilkada di Gedung DPR. Aksi tersebut bahkan terekam secara langsung saat Live di Instagram Narasi. 

Pikiran Rakyat

Jurnalis Pikiran Rakyat juga menjadi korban persekusi saat meliput aksi demo di Gedung DPRD, Jawa Barat. 

Makna Talks

Dua photo journalist @maknatalks, terluka karena tindakan aparat kepolisian yang memaksa tanpa peringatan, melempar bom gair mair mata dan menyerbu secara paksa. 

Tempo

Jurnalis Tempo dipukul dan ditendang oleh aparat saat liput demo di Gedung DPR.

Wartawan kami pun sebetulnya tak luput dari kejadian intimidasi dan kekerasan pada 22 Agustus lalu. 

Salah satu wartawan kami mengalami intimidasi oleh oknum saat meliput di Gedung DPRD Jawa Barat. Tindakan ini tentu amat berlebihan dan jelas menghambat kerja-kerja jurnalisme dalam proses pencarian fakta di lapangan.

Cerita kami di atas mungkin hanya sebagian kecil dari intimidasi yang diterima oleh wartawan dalam menyampaikan kebenaran kepada publik. Selebihnya, ada banyak peristiwa yang pernah terjadi. Banyak wartawan yang mengalami represi. Bahkan tak sengaja terbunuh atau memang sengaja untuk dibunuh, misal saja yang terjadi pada wartawan Harian Bernas, Udin. Ia dikabarkan meninggal akibat penganiayaan yang dilakukan sekelompok orang yang tidak dikenal di rumahnya. Kematiannya ini diberitakan karena wartawan muda Harian Bernas itu memang cukup gencar dan berani menulis berita terkait korupsi yang dilakukan oknum Pemda Bantul saat itu. 

Mendengar realitas itu memang sungguh menyedihkan. Padahal, pekerjaan mereka sangat dilindungi Undang-Undang Pers. Para wartawan pun sebetulnya bekerja melalui kode etik yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers. 

Sebagai konteks, wartawan apabila melakukan kesalahan tak bisa dilaporkan dan dipenjara begitu saja. Atau bahkan menerima perlakuan intimidasi semacam itu. Sederhana saja, apabila tidak suka, mereka dapat membuat laporannya ke Dewan Pers. Tidak justru dengan mengintimidasinya apalagi sampai membunuh. 

Terlebih, wartawan adalah penjaga nafas demokrasi. Mereka adalah pelaku the fourth estate of democracy yang melakukan kerja-kerja watchdog journalism. Maksudnya adalah, kerja-kerja jurnalistik mereka tidak hanya sampai pada pelaporan fakta. Namun lebih dari itu, mereka harus kritis terhadap fenomena penguasa yang semakin hari semakin ugal-ugalan. Maka dari itu, kerja mereka harus dilindungi. Dari semua hal, termasuk tidak mengalami intimidasi dalam melakukan pekerjaannya. 

Pada akhirnya, jurnalisme harus bebas. Tak boleh ada yang menghalangi kerja-kerja jurnalistik. Tujuannya tentu tidak lain dan tidak bukan untuk mengawasi pemerintah yang seringkali semena-mena. 

Dengan ini, seharusnya wartawan harus benar benar bebas. Hanya dengan itu, kita bisa menghargai profesi mereka sebagai pahlawan pembawa berita. 

Post a Comment

0 Comments