Keberpihakan Prabowo dan Jokowi dalam pilkada. Foto: Benar News |
Presiden RI terpilih, Prabowo menunjukkan sikap yang tak etis secara politik.
Di awal pemerintahannya, ia justru sibuk memihak dan mengendorse pasangan calon pilkada tertentu.
Sementara itu, bapak dinasti politik, Jokowi juga turut berkampanye memenangkan kandidat jagoannya di pilkada 2024.
Dukungan mereka terhadap pasangan calon tertentu tentu menyimpang dari prinsip etika politik dan melanggar aturan hukum.
Dukungan ini misalnya mereka lakukan secara terbuka pada paslon Luthfi - Yasin (Pilkada Jateng), Ridwan Kamil - Suswono (DKI Jakarta) dan Bobby Nasution - Surya (Sumatera Utara).
Dukungan kedua aktor elit politik itu tentu tak main-main. Apalagi dengan tambahan Koalisi KIM Plus yang memiliki basis dukungan partai politik yang gemuk. Alhasil ini tentu memiliki dampak pada kemenangan besar di pilkada.
Benar saja, hasil hitung cepat (quick count) menunjukkan Jawa Tengah dan Sumatera Utara menjadi milik Luthfi dan Bobby. Pasangan Luthfi - Yasin unggul dengan lebih dari 58% suara menurut beberapa lembaga survei. Sementara Bobby - Surya mendeklarasikan kemenangan telaknya dengan perolehan suara lebih dari 60%.
Padahal, sebelum hari-hari pencoblosan pilkada 2024 lalu, publik ramai melakukan gerakan antitesa terhadap Jokowi di media sosial. Namun meskipun begitu, menurut Aisah Putri Budiatri (Peneliti BRIN) mengutip BBC News, gerakan itu nyatanya hanya berkembang di lingkup-lingkup tertentu saja. Alhasil, suara publik itu, katanya, tidak cukup menggema menjadi gerakan yang besar.
Calon pemimpin yang tak punya visi-misi
Pasangan calon pemimpin yang meminta dukungan dan endorsment politik ini tentu mencerminkan lemahnya kemampuan paslon tersebut dalam memimpin daerahnya. Ini karena mereka hanya mampu bergantung pada elit politik dengan menunjukkan ketidakmampuannya mendapatkan suara dari visi-misi yang jelas. Yang terjadi justru, mereka sibuk menjual nama presiden dan mantan presiden.
Lantas mengapa Prabowo dan Jokowi rela melakukan endorse politik?
Mengutip Tempo, Prabowo dan Jokowi tentu memiliki tujuan dalam endorsement politik ini. Hal demikian dilakukannya serta-merta guna investasi politik jangka panjang di wilayah strategis nasional, misalnya Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Dengan dukungan dan keberpihakan ini, pikir mereka, agenda kebijakan elit politik akan berlangsung dengan mudah.
Namun, keberpihakan politik itu justru membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan serta menyimpang dari kontestasi politik yang adil dan sehat.
Keberpihakan elit politik tak hanya melanggar etika politik, namun juga melanggar hukum
Tak hanya itu, keberpihakan mereka juga melanggar etika politik dan pelanggaran hukum. Ini bisa dibuktikan pada Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang sudah secara tegas melarang pejabat negara melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu paslon.
Tetapi, mereka nampaknya tak memiliki rasa malu. Ini karena keberpihakan mereka dilakukan secara terang-terangan kepada publik.
Kalau sudah begini, elit politik memang harus terus diawasi. Jangan sampai mereka dengan mudahnya melakukan pelanggaran hukum dan politically nir-etikanya pada publik kembali. Bisa-bisa mereka menganggap hal lumrah penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukannya.
Yogie Alwaton - Pemimpin Umum Kanal Perspektif
0 Comments