Industri Film Indonesia: Bangkit, Tapi ke Mana Arahnya?

Industri film Indonesia. Foto: Joko Anwar

Dulu, industri film Indonesia sempat memasuki masa suram. Medio 1991–1998, hanya ada dua atau tiga film yang diproduksi dalam setahun—sebuah periode mati suri yang hampir membuat film lokal terlupakan. Namun, hari ini, kondisi itu sudah jauh berubah. Ratusan film diproduksi setiap tahun, kualitasnya semakin mumpuni, dan jumlah penonton film Indonesia pun menembus angka tertinggi sepanjang sejarah. Seakan menjadi penanda bahwa perfilman Indonesia telah terlahir kembali.

Namun, di balik euforia ini, ada dilema yang masih menghantui para filmmaker. Meskipun jumlah penonton semakin bertambah, pasar masih sangat selektif dan cenderung hanya mengakomodasi beberapa genre tertentu. Film-film berkualitas kerap kesulitan mencari penonton, sementara film dengan formula populer terus mendominasi layar bioskop. Jadi, apakah industri film Indonesia benar-benar sudah mapan, atau kita masih berputar dalam lingkaran yang sama?

Jumlah Penonton Meroket, Tapi Dominasi Genre Tak Beranjak

Di atas kertas, angka memang terlihat menjanjikan. Tahun 2024 mencatat sejarah dengan jumlah penonton film Indonesia mencapai 80 juta orang. Ini adalah angka yang luar biasa jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, jika kita melihat lebih dalam, mayoritas film yang sukses di pasar masih didominasi oleh genre horor dan komedi.

Dari 10 film Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak di tahun ini, tujuh di antaranya adalah film horor. Film seperti Agak Laen, Vina: Sebelum 7 Hari, dan Badarawuhi di Desa Penari berhasil menembus jutaan penonton hanya dalam hitungan hari. Sementara itu, film-film drama sosial seperti Dua Hati Biru atau Tuhan, Izinkan Aku Berdosa hanya meraih ratusan ribu penonton—angka yang masih dianggap kecil dalam standar industri box office.

Apa yang membuat horor begitu dominan? Menurut Direktur Program Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Alexander Matius, genre horor memiliki kedekatan budaya dengan masyarakat Indonesia. Hal-hal mistis dan supranatural sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga film horor lebih mudah diterima dan dinikmati. Selain itu, dari segi bisnis, horor adalah investasi yang lebih aman karena selalu ada pasarnya.

Namun, apakah industri akan terus berjalan dalam jalur yang sama? Jika eksplorasi genre tidak mendapat ruang yang layak, perfilman kita bisa saja mengalami stagnasi meskipun secara angka terlihat berkembang.

OTT: Harapan Baru bagi Keberagaman Genre?

Di tengah keterbatasan pasar bioskop, kehadiran layanan streaming (OTT) menjadi angin segar bagi sineas yang ingin menawarkan sesuatu di luar formula mainstream. Prilly Latuconsina, seorang aktris sekaligus produser, mengakui bahwa OTT telah membuka peluang baru bagi film Indonesia untuk menjangkau penonton yang lebih luas dan beragam.

"Misalnya, Budi Pekerti atau Ketika Berhenti di Sini tayang di bioskop dan mendapat jumlah penonton yang lumayan. Tapi ketika tayang di Netflix, kita bisa melihat lebih banyak orang dari berbagai latar belakang ikut menonton dan mendiskusikannya," kata Prilly.

Ini membuktikan bahwa ada pasar untuk film-film dengan genre berbeda. Hanya saja, tantangan utamanya tetap pada pola konsumsi masyarakat. Tidak semua film yang tayang di OTT bisa mendapatkan eksposur yang besar, terutama jika tidak didukung oleh strategi pemasaran yang kuat. Dengan kata lain, OTT mungkin memberikan akses lebih luas, tetapi tidak serta-merta mengubah selera pasar.

Ekosistem yang Masih Bermasalah

Di luar permasalahan genre dan distribusi, ada satu hal yang lebih fundamental: kesejahteraan pekerja film. Sebuah film mungkin bisa sukses besar di box office, tetapi bagaimana dengan orang-orang yang bekerja di baliknya?

Saat ini, banyak pekerja film—termasuk aktor—masih berada dalam kondisi kerja yang tidak ideal. Jam kerja yang tidak manusiawi, sistem produksi yang belum tertata rapi, hingga status profesi yang belum sepenuhnya diakui, masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi industri ini.

Film bukan hanya soal cerita di layar lebar, tetapi juga bagaimana ekosistem di belakangnya bisa bertahan dan berkembang. Jika kita hanya berfokus pada angka dan tren pasar tanpa memperbaiki sistem kerja yang ada, maka perkembangan ini bisa saja menjadi ilusi semata.

Perluasan Pasar dan Eksplorasi Genre: Jalan Keluar yang Tidak Mudah

Apa solusi dari semua ini? Salah satu jawabannya adalah memperluas pasar. Saat ini, distribusi film masih sangat berpusat pada bioskop-bioskop besar yang memiliki sistem persaingan ketat. Jika dalam minggu pertama jumlah penonton turun, maka jadwal tayang bisa langsung dipangkas. Hal ini membuat film-film dengan genre yang lebih eksperimental sulit bertahan.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah mengembangkan jaringan pemutaran alternatif, memperkuat pasar internasional, dan tentu saja, meningkatkan literasi film di kalangan penonton. Kita sering mengeluhkan mengapa film Indonesia hanya itu-itu saja, tetapi apakah kita sendiri sudah memberikan kesempatan bagi film-film lain untuk berkembang?

Film horor dan komedi mungkin akan terus mendominasi dalam beberapa tahun ke depan, tetapi bukan berarti genre lain tidak punya tempat. Yang diperlukan adalah keseimbangan—antara produksi yang menguntungkan secara komersial dan eksplorasi genre yang lebih beragam.

Pada akhirnya, industri film tidak hanya sekadar angka. Ia adalah representasi dari budaya, kreativitas, dan dinamika sosial masyarakat. Jika industri ini ingin benar-benar berkembang, maka pasar, sineas, dan penonton harus sama-sama bergerak maju. Sebab, perfilman yang sehat bukan hanya tentang jumlah penonton, tetapi juga tentang ruang yang diberikan bagi berbagai cerita untuk hidup dan berkembang.

Dukung tulisan ini agar terus hadir dengan berdonasi disini:

https://www.kanalperspektif.com/p/donasi.html?m=1

Post a Comment

0 Comments