Foto: Aksi massa Indonesia Gelap. (Kanal Perspektif/ Muhammad Abyan Dafi) |
LANGIT Indonesia kembali mendung. Kali ini tak hanya berwarna abu, Ia sudah berubah lebih pekat dan lebih menghitam. Tak ayal, langit Indonesia itu berwarna hitam gelap.
Sang Langit merubah warnanya menjadi hitam tak terjadi secara kebetulan. Ia membawa pesan bahwa Indonesia sedang gelap.
***
INDONESIA GELAP adalah simbol yang menunjukkan kondisi Indonesia yang sedang tak baik-baik saja.
SEBELUMNYA, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan untuk melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp 306,69 triliun. Efisiensi anggaran ini dilakukan demi program Makan Bergizi Gratis (MBG) seperti yang dijanjikan Prabowo dalam masa kampanye pilpres tahun lalu. Namun, kebijakan efisiensi itu nyatanya membuat publik geram. Mereka menuntut Prabowo agar tak serampangan dalam membuat kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.
Ada sejumlah imbas dari efisiensi anggaran Prabowo tersebut. Mulai dari sektor kementerian, tenaga hororer yang terkena PHK hingga ancaman pemberlakuan dwifungsi TNI-Polri. Namun dari sederet imbas itu, pendidikan adalah korban utamanya.
***
Kebijakan yang tak pro-rakyat
Demonstrasi mahasiswa akhirnya digalakkan di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Bandung.
Mereka geram pada kebijakan efisiensi anggaran itu yang harus memangkas berbagai sektor krusial hanya demi makan bergizi gratis. Mereka beranggapan Prabowo sangat otoriter dan tak berpihak pada kepentingan publik.
Jumat, 21 Februari lalu kami berhasil menemui kalangan aktivis, warga sipil, pedagang, hingga pemerhati hukum tata negara untuk menanyai lebih lanjut mengenai aksi Indonesia Gelap tersebut.
Liputan ini dilakukan melalui daring maupun wawancara secara langsung di Gedung DPRD Jawa Barat pada saat aksi #IndonesiaGelap.
"Landasan utamanya adalah keresahan yang saat ini dirasakan masyarakat karena semua kebijakan yang keluar tidak berpihak kepada rakyat," ujar Okan, Presiden BEM Kema Fakultas Komunikasi dan Ilmu Sosial, Universitas Telkom saat diwawancarai secara daring, Senin (22/2/2025).
#IndonesiaGelap yang menggema di media sosial bukan sembarang aktivisme digital tanpa makna. Tagar itu seakan ingin menunjukkan bahwa banyak penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini.
"Arti Indonesia Gelap sendiri merupakan kumpulan kemarahan, ketakutan yang dialami masyarakat Indonesia atas masa depan bangsa," terus Okan.
Foto: Prabowo gagal. (Kanal Perspektif/ Yogie Alwaton) |
Aksi bertajuk "Indonesia Gelap" digelar serentak di sejumlah daerah Indonesia guna menyoroti berbagai polemik yang ditimbulkan rezim Prabowo-Gibran selama 100 hari kerja.
"Kami membawa beberapa highlight penting di antaranya ialah menuntut agar pemerintah memprioritaskan anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan, serta mengkaji ulang jumlah kementerian pada Kabinet Merah Putih," tegas Presiden BEM yang baru dilantik ini.
Tuntutan-tuntutan itu tentu tak terjadi tanpa sebab.
Sebelumnya, aksi massa yang dilakukan di Jakarta melayangkan tuntutan yang serupa. Terdapat sejumlah 13 tuntutan yang dibawa massa aksi mulai dari pendidikan gratis, mencabut PSN, menghapus dwifungsi ABRI, evaluasi total makan bergizi gratis, hingga membayarkan tunjangan kinerja dosen.
Sementara itu, ribuan pelajar di Papua Pegunungan lebih menuntut soal pendidikan gratis.
Pemerintahan Prabowo-Gibran dituntut segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan segala persoalan itu.
Akar permasalahannya terjadi ketika beberapa waktu lalu Presiden Prabowo meminta untuk diberlakukannya efisiensi anggaran senilai 306,69 triliun.
Namun, nampaknya publik tak gembira mendengar hal itu.
Akhirnya publik geram. Mereka mengira bahwa Prabowo tak 'becus'. Dalam 100 hari kepemimpinannya, Prabowo dinilai telah banyak membuat publik marah.
Prabowo ditimpa berbagai masalah serius mulai dari isu kenaikan PPN 12%, kelangkaan gas melon, serta pelantikan tak etis stafsus di tengah efisiensi anggaran.
Efisiensi anggaran merupakan puncak amarah publik pada Prabowo.
Keputusan efisiensi ini dinilai tidak tepat sasaran karena banyaknya sektor yang terdampak.
"Pendidikan adalah sektor yang paling terdampak. Bahkan dampak juga dirasakan oleh tenaga honorer di kementerian yang harus mengalami PHK," tegas Okan.
Kebijakan efisiensi anggaran ini memang berdampak pula pada banyaknya honorer di kementerian dan lembaga lain yang mesti dirumahkan.
Prabowo justru banyak memangkas berbagai sektor yang krusial. Salah satunya adalah sektor pendidikan yang ikut menjadi korban efisiensi anggaran. Bayangkan saja, sebanyak 39 persen atau hanya tersisa 35,1 trilun anggaran pendidikan berhasil ia pangkas. Bahkan, program riset termasuk di antaranya.
Akibatnya, tentu pemotongan ini akan mengurangi kualitas pendidikan. Padahal banyak fasilitas yang belum memadai dan kesejahteraan guru yang sangat memprihatinkan.
Bagi Prabowo, justru program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak Indonesia adalah harga mati.
Namun, Prabowo lupa bahwa banyak anak Indonesia lebih membutuhkan pendidikan gratis. Lain daripada itu, Prabowo juga seolah lupa bahwa program MBG tersebut nyatanya harus mengorbankan kesejahteraan dosen yang insentifnya dihapus dan membuat gaji para guru harus dikurangi.
Upaya yang dilakukan Prabowo soal pendidikan berkualitas nampaknya hanya omong kosong belakang.
Pemerintah yang mengharapkan pendidikan berkualitas tidak sejalan dengan kenyataan pahit saat ini. Pemerintahan Prabowo justru lebih memilih mengenyangkan perut pejabat dan memberikan sepenuhnya anggaran untuk sektor yang tidak penting, sementara itu sektor pendidikan harus ditelantarkan.
Dengan raut wajah yang serius, Okan menambahkan, "Pemerintah harus berpihak pada kesejahteraan rakyat!"
"Pendidikan menjadi landasan untuk mensejahterakan rakyat. Indonesia membutuhkan pendidikan yang berkualitas. Karena masih banyak daerah yang minim fasilitas pendidikan. Tindakan pemerintah memilih untuk mengefisiensikan anggaran pendidikan dan memprioritaskan makan bergizi gratis merupakan tindakan yang keliru," lanjutnya.
Efisiensi Anggaran yang membuat anggaran negara diprioritaskan ke MBG bukan hal yang sederhana. Efisiensi ini akan berdampak pada pendidikan yang tak berkualitas.
Menurut Okan, prioritas anggaran sepenuhnya harus ke sektor pendidikan.
Akibatnya, tentu pemotongan ini akan mengurangi kualitas pendidikan. Padahal banyak fasilitas yang belum memadai dan kesejahteraan guru yang sangat memprihatinkan. Pemotongan kualitas pendidikan juga akan menyebabkan kualitas siswa Indonesia menurun. Kajian PISA menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca mengalami penurunan karena rendahkan anggaran pendidikan.
"Dalam 100 hari kepemimpinan Prabowo saya belum melihat kebijakan yang pro rakyat. Kebijakan yang saat ini dikeluarkan Prabowo karna selalu tidak berpihak pada rakyat. Hal ini juga yang akhirnya membuat rakyat turun ke jalan," tutup Okan.
***
Wujudkan pendidikan yang gratis dan berkualitas
Foto: Adili Jokowi. (Kanal Perspektif/ Muhammad Abyan Dafi) |
BAGI WARGA SIPIL, pendidikan yang berkualitas jauh lebih penting daripada program Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Mahasiswa dan warga sipil sebetulnya membutuhkan akses yang adil terhadap pendidikan berkualitas, lapangan kerja yang layak, keamanan dan kesejahteraan rakyat," ungkap Langit.
Dalam kesehariannya, Langit cukup giat dan serius mengikuti isu sosial dan politik tanah air.
Baginya, akses pendidikan yang gratis adalah hal utama untuk dapat menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Efisiensi anggaran yang berdampak pada banyak sektor turut dirasakan langsung olehnya.
"Ya, sepakat. Efisiensi anggaran tentu akan berdampak langsung pada mahasiswa dan warga sipil terutama sektor pendidikan. Misalnya saja pemangkasan beasiswa KIP yang akan berdampak pada mahasiswa kurang mampu," ucapnya.
Benar saja, dari observasi dan data yang kami peroleh, efisiensi anggaran nyatanya dapat berdampak langsung pada sektor pendidikan.
Namun bagi Prabowo, sektor ini justru di'nomor-duakan' sehingga ratusan ribu mahasiswa penerima beasiswa KIP akan terancam putus kuliah yang mengakibatkan gagal adanya sarjana pertama dari keluarga miskin.
Nampak jelas bahwa Prabowo tidak memerhatikan warga miskin.
Belum lagi di era pemerintahan Prabowo pembungkaman kebebasan berekspresi kembali terjadi.
"Pembungkaman kebebasan berekspresi seperti yang terjadi pada Sukatani waktu lalu sangat mengancam kebebasan berbicara di muka publik, karena kebebasan berekspresi adalah pilar utama dalam masyarakat adil dan transparan, terutama bagi mahasiswa dan warga sipil yang ingin menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka terhadap suatu kebijakan pemerintah atau isu lainnya", lanjut Langit, mahasiswa yang sedang berada pada semester tengah ini.
"Akhirnya, kalau Indonesia begini-begini terus sepertinya Indonesia akan memasuki 'Indonesia Cemas', bukan emas lagi", tandas Langit mengakhiri percakapan.
***
Belum pro pada warga kecil
AMUNG (56), pedagang siomay di sekitar Gedung DPRD Jawa Barat, tengah menjajakan dagangannya. Sudah lebih dari separuh usianya ia menjadi pedagang siomay. Ia merantau dari Jawa Tengah untuk melakoni pekerjaan itu.
Foto: Amung pedagang siomay. (Kanal Perspektif/ Yogie Alwaton) |
Setiap hari, Amung harus berangkat jam tujuh pagi dari rumah untuk sampai di lokasi dagangannya yang jaraknya empat kilometer.
Bagi Amung, berjualan siomay adalah tumpuan untuk menghidupi keluarga kecilnya.
"Yang paling penting bagi saya tentu keluarga. Jadi saya harus jualan. Tapi sekarang, karena gas ijo susah, agak kesulitan berjualan," katanya.
Amung mengaku efisiensi anggaran sangat berdampak langsung ke dirinya.
"Tentu berdampak ya. Karena kan di sekitar agak susah mencari gas. Jadi gimana mau jualan kan," keluhnya.
"Kebijakan yang saya harapkan sebetulnya gak muluk-muluk, pemerintah coba kasih aja pendidikan gratis buat anak-anak kami dan kebutuhan pokok yang harus lebih murah. Bagi kami, lebih penting itu daripada makan gratis," tambah Amung.
Menurut dia, saat ini kebijakan pemerintahan Prabowo belum sampai pro pada warga kecil.
Indonesia Gelap menggambarkan corak rezim otoriter Prabowo
"Tagar Indonesia Gelap menggambarkan beberapa hal. Pertama, corak rezim pemerintahan saat ini dimana Prabowo-Gibran lahir dari proses elektoral yang penuh dengan pemanipulasian hukum seperti diintervensinya Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan pencalonan Gibran. Kedua, sehingga dari proses itu melahirkan corak pemerintahan yang otoriter dan militeristik dan melahirkan kebijakan yang tak pro rakyat," katanya saat ditemui secara terpisah melalui percakapan daring.
Pascal menambahkan, sebab-sebab itu yang akhirnya mengakibatkan kebijakan tak tepat sasaran dan membuat masyarakat menderita karena kebijakan tidak dihasilkan dengan pertimbangan partisipasi publik.
"Kebijakan efisiensi anggaran yang diinstruksikan Prabowo tentu kurang tepat. Karena tidak lahir dari proses partisipatif yang melibatkan masyarakat dan akademisi," lanjutnya.
Menurutnya, substansi kebijakan ini belum mampu menjawab masalah struktural negara Indonesia.
Foto: Massa aksi melakukan orasi di halaman Gedung DPRD Jawa Barat. (Kanal Perspektif/ Muhammad Abyan Dafi) |
"Malah kebijakan ini justru memperburuk kondisi pendidikan Indonesia ketika kesejahteraan dosen dan guru tidak dapat diberikan solusinya. Terlebih efisiensi anggaran ini juga mengancam ratusan bahkan jutaan mahasiswa dalam menyelesaikan studinya agar tak terbebani secara finansial," kata Pascal.
Pascal juga menegaskan bahwa kebijakan efisiensi anggaran yang tak menyasar institusi seperti TNI, Polri justru menimbulkan tanda tanya besar.
"Kenapa rezim tak memprioritaskan sektor lainnya seperti pendidikan? Ini tentu memperlihatkan corak kekuasaan sekarang yang sangat berpihak pada wilayah militeristik bukan pada sipil," lanjut pria lulusan S2 Hukum Tata Negara UGM ini.
Apabila Revisi UU TNI-Polri disahkan, dampaknya tentu akan berbahaya.
"Politik hukumnya untuk memperluas kewenangan TNI-Polri masuk dalam lingkup sipil. Ini akan mengembalikan kebijakan ke era orde baru ketika militer dapat mengisi jabatan strategis di ranah sipil yang pada saat itu membuat banyak terjadi pelanggaran HAM. Alhasil ketika militer merangkap dalam ranah sipil, pola pelanggaran HAM akan mudah terjadi karna sistem yang berlaku di ranah militer sistemnya adalah komando berbeda dengan sipil yang mengedepankan pelayanan publik dan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan," katanya.
"Sehingga tujuan revisi UU ini adalah polanya untuk menguatkan corak kekuasaan oligarkis-militeristik Prabowo-Gibran," pungkas Pascal.
Untuk melakukan disiplin verifikasi, kami sudah berupaya menghubungi pihak DPRD Jawa Barat dengan mendatangi kantor mereka di Jl. Diponegoro No.27, Citarum, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung pada 21 Februari 2025. Namun, dalam momen itu kami tak kunjung menemukan jawaban.
0 Comments