Prabowo, Dinasti Politik, dan Demokrasi yang Dipagari

 

Prabowo pada HUT Partai Gerindra ke-17. Foto: CNN Indonesia

Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka baru saja memasuki 100 hari kerja, tetapi wacana Pilpres 2029 sudah bergulir. Dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Gerindra pada 13 Februari 2025, Prabowo diusung kembali sebagai calon presiden untuk periode berikutnya. Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, menyebut Prabowo memberi jawaban diplomatis: "Insya Allah", sambil meminta waktu untuk fokus pada tugasnya saat ini. Namun, keputusan ini menuai tanda tanya besar—mengapa terlalu cepat memagari politik 2029 padahal kinerja 100 hari saja masih banyak menuai kritik?

Politik Dini dan Dinasti yang Mengunci

Langkah politik ini tidak bisa dipandang sekadar sebagai dinamika internal partai. Ini adalah upaya mengunci arah politik sejak dini. Dengan deklarasi ini, partai-partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan sekitarnya seolah "dipaksa" tetap dalam orbit kekuasaan Prabowo hingga 2029. Langkah ini mencerminkan politik dinasti dan oligarki yang makin kokoh. Gibran yang naik melalui celah kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) kini menjadi Wakil Presiden, dan wacana Prabowo kembali maju membuka kemungkinan pelanggengan kekuasaan di tangan segelintir elite.

Namun, sebelum berpikir soal 2029, ada hal yang lebih mendesak: bagaimana kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran? Jika dilihat dari berbagai kebijakan dan keputusan kontroversial, justru ada banyak tanda tanya besar soal arah kepemimpinan mereka.

Blunder 100 Hari: Kebijakan Elpiji 3 Kg yang Memukul Rakyat Kecil

Salah satu kebijakan paling kontroversial adalah larangan penjualan elpiji 3 kg secara eceran mulai 1 Februari 2025. Masyarakat kini hanya bisa membeli gas subsidi ini di pangkalan resmi Pertamina dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berdalih bahwa kebijakan ini bertujuan menertibkan distribusi agar subsidi tepat sasaran.

Namun, realitas di lapangan berkata lain. Pedagang kecil dan rumah tangga miskin kini kesulitan mendapatkan gas melon ini. Tempo menelusuri beberapa wilayah di Jakarta dan Tangerang, menemukan bahwa banyak warung-warung kecil tak lagi menjual LPG 3 kg, membuat warga terpaksa antre di pangkalan yang ketersediaannya terbatas. Samidi, seorang pedagang gorengan di Kemanggisan, mengeluh bahwa sulitnya mendapatkan gas bisa menghentikan usahanya.

Menurut ekonom UGM Fahmy Radhi, kebijakan ini justru melabrak janji Prabowo yang ingin berpihak pada rakyat kecil. Pengecer yang selama ini mengandalkan penjualan gas sebagai mata pencaharian kini kehilangan pendapatan. Alih-alih solusi, kebijakan ini justru memperparah persoalan dengan mematikan usaha akar rumput dan menambah angka pengangguran.

Alih Fungsi Hutan 20 Juta Hektare: Ekonomi Vs Lingkungan

Selain kebijakan LPG, Prabowo juga mengumumkan rencana alih fungsi 20 juta hektare hutan untuk swasembada pangan dan energi. Proyek ini diklaim sebagai solusi kedaulatan pangan, tetapi bagi aktivis lingkungan, ini adalah ancaman besar bagi biodiversitas dan masyarakat adat.

Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia menilai kebijakan ini sebagai ilusi belaka. Alih fungsi hutan dalam skala masif akan meningkatkan emisi karbon, mempercepat kepunahan spesies, dan memperburuk krisis iklim. Apalagi, proyek ini dikawal dengan Perpres 5/2025 yang bernuansa militeristik, karena melibatkan TNI dan Kementerian Pertahanan dalam pengelolaannya.

Sejarah mencatat bahwa proyek serupa di Merauke, Papua Selatan, berujung pada konflik agraria dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Jika kebijakan ini tetap berjalan, kita bisa membayangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas.

Target Ekonomi 8 Persen: Realistis atau Omong Kosong?

Prabowo-Gibran menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Angka ini tampak ambisius, tetapi banyak ekonom menilai target ini lebih bersifat retorika ketimbang kebijakan berbasis realitas ekonomi.

Bhima Yudhistira dari Celios mencatat bahwa selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di angka 5 persen, bahkan pada era Jokowi yang penuh gebrakan infrastruktur. Dengan kondisi saat ini—deflasi selama lima bulan berturut-turut dan gelombang PHK di sektor padat karya—target 8 persen tampak seperti mimpi di siang bolong.

Hilirisasi yang digembar-gemborkan sebagai solusi juga masih berkutat pada olahan primer, tanpa industrialisasi lanjutan yang memberikan nilai tambah tinggi. Porsi manufaktur terhadap PDB stagnan di bawah 20 persen, sementara dampak lingkungan akibat hilirisasi tambang terus meningkat.

Makan Bergizi Gratis: Ambisi Besar, Realisasi Pincang

Salah satu janji kampanye unggulan Prabowo-Gibran adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pemerintah mengalokasikan Rp 71 triliun dalam RAPBN 2025 untuk program ini, tetapi jumlah ini hanya mencakup periode Januari–Juni. Untuk setahun penuh, anggarannya bisa membengkak hingga Rp 420 triliun, berpotensi memperlebar defisit fiskal.

Selain isu anggaran, pelaksanaan program ini juga menuai kritik. Greenpeace mencatat bahwa MBG justru meningkatkan food waste, dengan estimasi 425-850 ton sampah per hari. Walhi menambahkan bahwa kebijakan ini kurang mempertimbangkan aspek keberlanjutan dalam pengelolaan limbah makanan.

Demokrasi yang Tergerus: Ruang Sipil Menyusut

Dalam 100 hari pertama, ruang kebebasan sipil semakin sempit. Dugaan intervensi Prabowo dalam Pilkada 2024 menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya politik orde baru, di mana pejabat negara terang-terangan mendukung calon tertentu.

Rezim ini juga mulai menunjukkan kecenderungan otoriter. Pernyataan kontroversial soal pengampunan koruptor, kriminalisasi aktivis, dan represi terhadap demonstrasi semakin menegaskan bahwa pemerintahan ini tak segan menekan suara kritis.

Mengunci Politik 2029: Kepentingan Rakyat atau Elite?

Wacana pencalonan kembali Prabowo di 2029 sebelum genap 100 hari menjabat adalah sinyal jelas bahwa politik dinasti dan kekuasaan oligarki semakin mengakar. Bukannya fokus membenahi kebijakan yang banyak menuai kritik, justru energi politik diarahkan untuk mengamankan posisi di pemilu berikutnya.

Jika rakyat lengah dan membiarkan semua ini berlalu tanpa kritik, maka demokrasi akan semakin terkunci. Inilah saatnya untuk tetap mengawasi, mengkritisi, dan memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan sekadar menjaga kursi kekuasaan.

Demokrasi yang sehat butuh kontrol publik, bukan hanya seremonial pemilu lima tahunan.

Dukung tulisan ini agar terus hadir dengan berdonasi disini:

https://www.kanalperspektif.com/p/donasi.html?m=1


Post a Comment

0 Comments