Ujung Tanduk Trias Politica Indonesia

Prabowo dihadapan para Hakim Mahkamah Agung. Foto: Jambione.com

Trias Politica, konsep pemisahan kekuasaan yang digagas oleh Montesquieu, telah lama menjadi pilar penting dalam sistem ketatanegaraan modern. Konsep ini membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tujuannya jelas: mencegah sentralisasi kekuasaan yang dapat melahirkan otoritarianisme. Namun, di Indonesia, konsep ini kerap diuji oleh intervensi antarlembaga, terutama dari eksekutif terhadap legislatif dan yudikatif. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, di mana intervensi eksekutif terhadap yudikatif dan wacana sentralisasi kekuasaan mulai mencuat ke permukaan.

Intervensi Eksekutif terhadap Yudikatif: Presiden dan Hakim

Pada Kamis, 20 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto mengundang seluruh hakim Mahkamah Agung (MA) ke Istana Kepresidenan. Acara ini dihadiri oleh ratusan hakim yang mengenakan batik dan membawa undangan resmi. Menurut Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan, pertemuan ini bertujuan untuk memberikan arahan kepada para hakim. Namun, apa yang terjadi di balik layar pertemuan ini menuai kritik tajam dari pakar hukum tata negara.

Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, menilai pertemuan ini sebagai bentuk intervensi eksekutif terhadap yudikatif. Menurutnya, intervensi semacam ini bukanlah hal baru. Ia mengingatkan bahwa praktik serupa pernah terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru, di mana kekuasaan eksekutif mendominasi dan mengintervensi lembaga-lembaga lain. "Pak Prabowo tidak boleh lagi masuk ke jurang di mana kekuasaan didominasi dan disentralisasi," ujar Feri.

Intervensi eksekutif terhadap yudikatif adalah tamparan keras bagi prinsip Trias Politica. Kekuasaan yudikatif seharusnya independen, bebas dari campur tangan pihak mana pun, termasuk eksekutif. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketika eksekutif mulai memberikan "arahan" kepada hakim, independensi yudikatif terancam, dan keadilan bisa menjadi bias.

Wacana Sentralisasi Kekuasaan: Kembali ke Orde Baru?

Intervensi terhadap yudikatif bukan satu-satunya masalah. Presiden Prabowo juga mengusulkan wacana yang berpotensi mengembalikan sentralisasi kekuasaan, mirip dengan era Orde Baru. Dalam pidatonya di perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, Prabowo sepakat dengan usulan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, untuk mengevaluasi sistem demokrasi di Indonesia. Salah satu usulannya adalah mengangkat kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), alih-alih melalui pemilihan langsung.

Prabowo beralasan bahwa Pilkada langsung memakan biaya besar, mencapai triliunan rupiah, dan tidak efisien. Menurutnya, dana tersebut bisa dialihkan untuk program-program vital seperti makan gratis dan perbaikan infrastruktur pendidikan. Namun, wacana ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk La Nyalla Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. La Nyalla menilai wacana ini sebagai langkah menuju sentralisasi kekuasaan, di mana Presiden dan Wakil Presiden nantinya bisa ditunjuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan melalui pemilihan umum.

Wacana ini berbahaya karena mengancam prinsip desentralisasi dan partisipasi publik dalam demokrasi. Pemilihan langsung kepala daerah dan presiden adalah buah dari Reformasi 1998, yang bertujuan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Jika wacana ini diterapkan, kita berisiko kembali ke era Orde Baru, di mana kekuasaan terpusat di tangan eksekutif, dan lembaga legislatif serta yudikatif hanya menjadi alat legitimasi rezim.

Trias Politica di Ujung Tanduk

Intervensi eksekutif terhadap yudikatif dan wacana sentralisasi kekuasaan adalah dua sisi dari mata uang yang sama: ancaman terhadap Trias Politica. Konsep pemisahan kekuasaan ini dirancang untuk mencegah dominasi satu cabang kekuasaan atas cabang lainnya. Namun, di Indonesia, intervensi eksekutif terhadap yudikatif dan legislatif telah mengikis prinsip ini.

Sejarah menunjukkan bahwa ketika eksekutif mendominasi, demokrasi dan keadilan terancam. Di era Orde Baru, Soeharto menguasai eksekutif, legislatif, dan yudikatif. MPR menjadi alat legitimasi, DPR diisi oleh orang-orang pro-rezim, dan MA tidak berdaya menghadapi intervensi eksekutif. Akibatnya, kekuasaan menjadi absolut, korupsi merajalela, dan hak-hak rakyat terabaikan.

Reformasi 1998 hadir untuk mengakhiri sentralisasi kekuasaan ini. Pemilihan langsung presiden dan kepala daerah, pembatasan kekuasaan MPR, dan penguatan independensi yudikatif adalah beberapa langkah penting yang diambil. Namun, dua dekade setelah Reformasi, kita kembali dihadapkan pada ancaman yang sama.

Mengapa Ini Berbahaya?

Pertama, intervensi eksekutif terhadap yudikatif merusak independensi peradilan. Ketika hakim menerima arahan dari presiden, keputusan hukum bisa menjadi bias dan tidak adil. Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum, di mana hukum harus ditegakkan secara independen dan imparsial.

Kedua, wacana sentralisasi kekuasaan mengancam partisipasi publik dalam demokrasi. Pemilihan langsung adalah mekanisme penting untuk memastikan bahwa pemimpin dipilih oleh rakyat, bukan oleh segelintir elit politik. Jika kepala daerah dan presiden ditunjuk oleh DPRD atau MPR, kedaulatan rakyat terancam.

Ketiga, sentralisasi kekuasaan berpotensi melahirkan otoritarianisme baru. Sejarah membuktikan bahwa ketika kekuasaan terpusat di satu tangan, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Ini adalah pelajaran berharga dari era Orde Baru yang tidak boleh kita ulangi.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, independensi yudikatif harus dijaga. Hakim tidak boleh menerima arahan atau intervensi dari pihak mana pun, termasuk presiden. Lembaga seperti Komisi Yudisial (KY) harus lebih aktif mengawasi praktik-praktik yang mengancam independensi peradilan.

Kedua, wacana sentralisasi kekuasaan harus ditolak. Pemilihan langsung adalah mekanisme demokrasi yang penting untuk memastikan kedaulatan rakyat. Alih-alih menghapus pemilihan langsung, pemerintah harus fokus pada reformasi sistem pemilu untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi.

Ketiga, masyarakat sipil harus tetap kritis dan waspada. Reformasi 1998 tidak diraih dengan mudah. Butuh perjuangan panjang dan pengorbanan besar untuk mengakhiri sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Kita tidak boleh membiarkan upaya ini sia-sia.

Trias Politica adalah fondasi penting bagi demokrasi dan negara hukum. Namun, di Indonesia, fondasi ini terus diuji oleh intervensi eksekutif dan wacana sentralisasi kekuasaan. Jika kita tidak waspada, kita berisiko kembali ke era otoritarianisme, di mana kekuasaan terpusat dan keadilan terabaikan.

Presiden Prabowo Subianto, sebagai pemimpin negara, harus memastikan bahwa kebijakannya tidak mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa sentralisasi kekuasaan hanya membawa bencana. 


Dukung tulisan ini agar terus hadir dengan berdonasi disini:

https://www.kanalperspektif.com/p/donasi.html?m=1

 

Post a Comment

1 Comments

  1. Saya sangat mengapresiasi artikel “Ujung Tanduk Trias Politica Indonesia” yang mengangkat isu penting tentang ancaman terhadap prinsip pemisahan kekuasaan di Indonesia. Analisis yang disajikan sangat tajam dan relevan, terutama dalam menyoroti intervensi eksekutif terhadap yudikatif serta wacana sentralisasi kekuasaan.

    Saya sepakat bahwa independensi lembaga peradilan harus dijaga agar keadilan tetap tegak, dan pemilihan langsung merupakan hak demokratis rakyat yang tidak boleh dihilangkan. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kembali ke sistem pemerintahan yang otoriter. Artikel ini menjadi pengingat penting bagi kita semua untuk terus mengawal demokrasi. Terima kasih atas tulisan yang informatif dan kritis ini!

    ReplyDelete