Reformasi Media dari Bangku Kuliah

Liputan media Indonesia. Foto: Antara News
"Berita yang baik bukan hanya yang benar, tapi juga yang membuat orang ingin jadi lebih baik.” (Goenawan Mohamad, Pendiri Tempo)

Media bukan hanya tentang menyampaikan fakta. Ia adalah entitas sosial yang membentuk cara kita memahami dunia, mengorganisasi realitas, hingga menentukan arah diskusi publik. Namun, dalam laju cepat dunia digital, media bukan lagi sekadar pencerita yang objektif—ia menjadi medan tarik-menarik antara kebenaran, kekuasaan, dan algoritma. Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan mendasar: masihkah media bisa dipercaya?

Kecerdasan buatan kini digunakan dalam politik untuk menciptakan narasi artifisial demi mendulang suara, sementara media arus utama justru kehilangan fungsinya dalam verifikasi dan kontrol informasi. Dalam kondisi yang serba kabur ini, suara mahasiswa Komunikasi menjadi penting. Mereka, yang sedang mempelajari dinamika komunikasi secara akademis dan praktis, memiliki pandangan kritis yang merefleksikan kebutuhan akan perubahan.

Melalui pendekatan paradigma konstruktivis, artikel ini mencoba menyelami pemikiran enam mahasiswa Komunikasi dari Universitas Telkom dan Universitas Gunadarma. Mereka menjawab lima pertanyaan fundamental yang menguji bagaimana mereka memaknai, mengakses, dan berkontribusi terhadap media. Jawaban mereka mengandung keresahan sekaligus harapan, membentangkan lanskap opini dari generasi yang tumbuh bersama internet, media sosial, dan disrupsi digital.

Apa yang mereka sampaikan bukan hanya kritik dari pinggir, melainkan suara dari barisan pembaca masa depan yang tak mau diam. Mereka tidak menunggu untuk menjadi jurnalis profesional demi mengubah wajah media, karena mereka tahu, perubahan bisa dimulai dari cara kita membaca dan menyebarkan informasi hari ini.

Inilah potret mahasiswa komunikasi yang menuntut media untuk berubah. Tidak sekadar agar lebih baik, tetapi agar lebih manusiawi, adil, dan berintegritas.

Bagaimana Anda memandang peran media dalam membentuk realitas sosial saat ini?

Media bukan lagi sekadar saluran penyampai informasi, melainkan telah menjadi kekuatan yang membentuk cara kita memahami dunia dan memaknai berbagai fenomena sosial. Sebagaimana diungkapkan oleh Adam Kasjmir dari Universitas Telkom,

"Media merupakan elemen yang sangat penting dalam membentuk realitas sosial dalam dinamika masyarakat saat ini, terutama di era digital di mana penyebaran informasi begitu cepat."

Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa kecepatan dan jangkauan media saat ini mampu mempengaruhi persepsi publik secara masif.

Selaras dengan pandangan tersebut, Galuh Sifa Adinda dari Universitas Telkom menambahkan, 

"Media saat ini punya peran sangat amat besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap realitas sosial. Media tidak hanya menyampaikan informasi, tapi juga membingkai narasi tertentu yang memengaruhi cara orang berpikir, merasa, dan bertindak."

Dengan kata lain, media tidak lagi hanya menyajikan fakta secara netral, tetapi juga menciptakan konteks dan arah interpretasi yang dapat memicu perubahan persepsi secara luas.

Tak kalah kritis, Rana Alifah yang juga berasal dari Universitas Telkom menyatakan,

"Media saat ini cenderung menampilkan informasi dengan sudut pandang yang berat sebelah, terutama dalam isu-isu politik. Banyak konten yang justru menimbulkan kecemasan berlebih, khususnya bagi kami yang sedang berjuang mempersiapkan masa depan."

Kritik ini menyoroti kecenderungan media untuk mengedepankan agenda tertentu yang bisa memperdalam rasa ketidakpastian dan kecemasan di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.

Menambahkan perspektif dari luar rantai perkuliahan tersebut, Saddam Bayu Wirayuda dari Universitas Gunadarma mengemukakan,

"Saya mulai menyadari bahwa media memiliki agenda tertentu, baik itu ideologis, politis, atau sekadar untuk menarik perhatian. Realitas yang disampaikan oleh media sebenarnya adalah sebuah konstruksi, bukan gambaran objektif dari kenyataan." 

Ungkapan kritis ini mengajak kita untuk tidak begitu saja menerima apa yang disajikan, melainkan selalu menyadari adanya upaya pembingkaian ulang fakta-fakta yang dapat mengaburkan kebenaran.

Melengkapi sudut pandang tersebut, Naufal Amar dari Universitas Telkom menyoroti peran media sosial sebagai entitas yang paradoks,

"Semacam dua mata pisau yang memberikan pengaruh sangat besar dalam membentuk realitas sosial di masyarakat." 

Media sosial menciptakan tekanan sosial melalui standar hidup yang tidak realistis, namun di saat yang sama mampu menggerakkan kepedulian publik melalui fenomena "viral dulu baru ditangani." 

Ini menandakan bahwa media tidak hanya membentuk persepsi, tetapi juga mempengaruhi tindakan sosial secara nyata.

Dari rangkaian narasi tersebut, terlihat jelas bahwa mahasiswa komunikasi memandang peran media sebagai konstruksi sosial yang kompleks dan penuh nuansa. Mereka menyadari bahwa media tidak hanya menyajikan kenyataan, tetapi juga membentuk dan mengarahkan cara pandang masyarakat melalui narasi yang terkadang bias. Sikap kritis dan kesadaran untuk selalu mengkonfirmasi kebenaran menjadi hal yang sangat mendesak, agar informasi yang diterima tidak menjadi alat manipulasi, melainkan sumber pengetahuan yang membebaskan dan memberdayakan.

Menurut Anda, apakah media saat ini lebih banyak memberikan manfaat atau justru menimbulkan tantangan bagi masyarakat?

Media hari ini hadir bak dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membawa kemudahan akses, informasi instan, dan ruang diskusi. Namun di sisi lain, ia menyimpan potensi bahaya yang tak kasat mata—dari penyebaran hoaks, polarisasi sosial, hingga penciptaan kecemasan kolektif.

“Media saat ini lebih banyak menimbulkan tantangan, karena banyaknya media baru dengan kualitas yang belum tentu dapat dipercaya,”

Ujar Adam. Ia melihat bahwa maraknya platform informasi yang tidak terverifikasi ditambah dengan minimnya edukasi publik soal literasi digital, menjadi kombinasi yang berbahaya. 

“Kurangnya edukasi membuat masyarakat lebih mudah terpapar hoaks,” lanjutnya, menekankan pentingnya pemahaman sebelum menyebarkan.

Berbeda dengan Adam yang melihat sisi gelapnya secara gamblang, Galuh memandang media secara lebih berimbang. 

“Manfaat dan tantangan berjalan beriringan. Media mempermudah akses informasi dan mendukung gerakan sosial, tapi juga memicu polarisasi opini dan menciptakan echo chamber akibat algoritma.” 

Baginya, yang perlu dikritisi bukan hanya konten, tetapi sistem teknologi di balik media itu sendiri—yang tanpa sadar menyaring dan menyusun informasi sesuai preferensi pembaca, bukan berdasarkan kebenaran obyektif.

Sementara itu, Rana menyampaikan keresahan yang lebih personal dan emosional.

“Banyak konten media justru memicu kecemasan sosial, menyebarkan ketakutan, dan memperparah polarisasi masyarakat.”

Ia merasa bahwa alih-alih menenangkan, media malah kerap menciptakan suasana mencekam, khususnya bagi generasi muda yang sedang mencari pijakan dalam hidupnya. 

“Terlebih lagi, ketika media tidak menyajikan informasi secara utuh dan netral, masyarakat jadi mudah terpengaruh oleh narasi yang tidak benar.”

Senada dengan itu, Saddam menggambarkan media sebagai “pedang bermata dua.” 

Ia menjelaskan, “Di satu sisi, media sangat berguna karena bisa menyebarkan informasi dengan cepat dan menghubungkan banyak orang. Tapi di sisi lain, banyak juga konten yang menyesatkan, hoaks, atau terlalu sensasional.” 

Bagi Saddam, bahayanya bukan hanya di kontennya, tapi pada siapa yang mengendalikan narasi dan bagaimana publik menggunakannya.

Terakhir, Amar menghadirkan perspektif optimis yang membumi dan relevan dengan pengalaman generasi muda. 

“Menurut saya, peran media sekarang ini banyak memberikan kemudahan atau manfaat kepada masyarakat, karena media—khususnya media sosial—sudah menjadi pintu utama dalam pencarian dan penyebaran segala informasi. Bahkan pencarian magang bagi mahasiswa sudah melalui media sosial, tidak perlu datang secara langsung. Bahkan media sosial dapat menjadi lahan pendapatan bagi beberapa mahasiswa.”

Mahasiswa Komunikasi melihat media hari ini sebagai lanskap yang ambigu—penuh manfaat namun juga sarat tantangan. Mereka mengakui kekuatan media dalam membuka akses dan menyuarakan aspirasi, tetapi juga waspada terhadap manipulasi narasi, algoritma yang membentuk ruang gema, dan berita sensasional yang memicu ketakutan. Dalam dunia yang makin didominasi oleh kecepatan dan viralitas, sikap kritis serta kemampuan memilah informasi menjadi senjata utama agar masyarakat tak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga aktor sadar dalam ekosistem informasi.

Apa yang menurut Anda perlu diperbaiki dari media saat ini agar lebih relevan dengan nilai-nilai generasi muda?

Generasi muda hari ini tidak lagi hanya menginginkan informasi yang cepat dan ramai dibicarakan. Mereka mendambakan media yang bisa menjadi cermin keadilan, ruang representasi, dan sumber pencerahan—bukan sekadar mesin sensasi yang berisik namun kosong.

“Media harus lebih profesional, berintegritas, dan bisa mengantisipasi hoaks,” kata Adam lugas. 

Ia menekankan pentingnya etika dan tanggung jawab dalam menyebarkan informasi. Baginya, media seharusnya menjadi pelindung masyarakat dari disinformasi, bukan justru sumbernya.

Galuh menyoroti dimensi keberagaman dan transparansi. 

“Media perlu lebih transparan, inklusif, dan adaptif terhadap nilai-nilai keberagaman, keadilan, dan keotentikan yang dipegang generasi muda.” 

Ia melihat bahwa media terlalu sering hanya mengedepankan suara mayoritas atau kelompok yang menguntungkan secara politik atau ekonomi.

“Banyak media masih terjebak dalam bias tertentu atau menggunakan clickbait tanpa memperhatikan etika jurnalistik.”

Sementara itu, Rana dengan penuh keprihatinan mengungkapkan keresahannya terhadap gaya pemberitaan yang terlalu menekankan sisi gelap kehidupan.

“Kita butuh media yang juga memberikan solusi dan harapan, bukan hanya clickbait dan sensasi.”

Ia menginginkan media yang edukatif, yang bisa membangun optimisme di tengah tantangan zaman. 

“Anak muda saat ini ingin informasi yang transparan, berimbang, dan membangun.”

Saddam menambahkan pentingnya ruang bagi suara-suara yang selama ini tersisih.

“Media harus lebih jujur dan inklusif. Generasi sekarang sangat peduli sama isu keadilan sosial, lingkungan, keberagaman, dan kesehatan mental—tapi sayangnya media kadang masih terlalu sibuk mengejar viralitas atau rating.” Ia juga menegaskan,

“Media yang relevan itu bukan cuma yang update, tapi juga yang punya integritas dan menghormati nilai-nilai seperti keadilan, empati, dan keberagaman.”

Amar membawa perhatian kita pada hal yang kerap luput dari sorotan: perlindungan terhadap kelompok rentan. 

“Menurut saya yang perlu diperhatikan oleh pemilik media—khususnya media sosial—yaitu filterasi konten dewasa dan kekerasan, baik kepada anak atau perempuan. Karena terkadang beberapa media masih terdapat konten-konten yang tidak sesuai dengan umur dan konten kekerasan.”

Ia juga menekankan pentingnya keterhubungan konten media dengan dunia nyata yang dihadapi generasi muda. 

“Selain itu, media juga harus memberikan informasi yang relevan dengan generasi muda seperti informasi dunia kuliah, apresiasi generasi muda.”

Mahasiswa Komunikasi tidak sekadar meminta media untuk berubah—mereka menunjukkan arah perubahannya. Bagi mereka, media masa kini harus lebih dari sekadar cepat dan ramai. Media harus menjadi tempat yang aman, adil, dan bertanggung jawab. Ia harus mampu mewakili suara-suara yang berbeda, membangun harapan di tengah ketidakpastian, dan tetap teguh pada integritas jurnalistik. Ini bukan sekadar tuntutan generasi digital, tetapi sebuah panggilan moral bagi media untuk kembali pada jati dirinya: memberi terang, bukan membakar.

Media atau platform apa yang paling Anda percayai sebagai sumber informasi, dan mengapa?

Di tengah derasnya arus informasi yang tak terbendung, kepercayaan terhadap media menjadi hal yang rapuh. Mahasiswa Komunikasi menyadari bahwa setiap sumber memiliki biasnya sendiri, dan karena itulah, mereka memilih untuk bersikap waspada dan kritis dalam menyerap informasi.

“Saya tidak percaya penuh pada satu platform, karena semuanya punya bias masing-masing,” kata Adam. 

Ia lebih memilih untuk bersikap hati-hati dan tidak langsung mempercayai apa pun yang beredar. Sikap ini mencerminkan kehati-hatian yang semakin berkembang di kalangan pembaca muda.

Galuh lebih selektif dalam memilih sumber, namun tetap tidak menutup mata terhadap potensi framing.

“Saya mempercayai Kompas dan Tempo karena terbukti kredibel, tapi saya juga selalu cross-check untuk mendapatkan gambaran yang utuh.” Ia menekankan pentingnya membandingkan sudut pandang untuk menghindari distorsi informasi.

“Saya membaca dari berbagai sumber untuk memahami satu isu,” ungkap Rana.

Baginya, tidak ada satu pun media yang bisa sepenuhnya dipercaya, karena setiap berita memiliki kemungkinan untuk dipengaruhi oleh sudut pandang atau kepentingan tertentu. Maka dari itu, pendekatannya adalah mengumpulkan banyak perspektif sebelum menarik kesimpulan.

Saddam memilih sumber yang sudah terverifikasi dan berstandar internasional. “Saya lebih percaya media digital seperti BBC atau The Conversation. Tapi saya tetap akan cek versi berita dari portal lain—kalau sudut pandangnya terlalu ekstrem atau berlawanan, saya jadi lebih hati-hati.”

Ia melihat proses cross-checking bukan hanya sebagai kebiasaan, tetapi sebagai keharusan etis dalam mengonsumsi media.

Lalu, Amar menghadirkan sudut pandang yang dekat dengan kebiasaan digital anak muda masa kini. 

“Untuk saat ini, media yang saya percayai yaitu Instagram, karena banyak akun-akun yang saya ikuti merupakan akun yang kredibel dalam menyampaikan informasi, baik itu informasi umum atau terkait isu sosial terkini.”

Ia juga menyebut platform X (sebelumnya Twitter) sebagai ruang yang masih menjunjung logika dalam diskusi.

“Menurut saya, para pengguna X masih tergolong orang-orang yang mampu untuk berpikir secara logis dalam menyebarkan pandangan mereka dan tidak menerima informasi secara mentah-mentah.”

Sebagai mahasiswa Komunikasi, apakah Anda merasa memiliki peran dalam membentuk tren media yang lebih baik? Jika ya, bagaimana caranya?

Dalam lautan informasi yang semakin tak berbatas, peran mahasiswa Komunikasi bukan lagi sekadar penonton pasif. Mereka memiliki kesadaran akan posisi strategisnya sebagai bagian dari generasi yang mampu memengaruhi arah dan bentuk ekosistem media hari ini—baik sebagai konsumen kritis maupun kreator konten yang bertanggung jawab.

“Saya belum merasa punya peran, tapi saya ingin mendukung perubahan positif di media,”

ujar Adam. Jawaban ini mungkin terdengar sederhana, tapi dalam dunia yang semakin dipenuhi distraksi dan disinformasi, kesadaran akan pentingnya perubahan adalah langkah awal yang sangat berarti. Di balik kerendahan hati tersebut, tersimpan komitmen untuk menjadi bagian dari media yang lebih etis.

Galuh menunjukkan inisiatif nyata dalam keseharian bermedia. “Saya membagikan informasi yang sudah diverifikasi dan menciptakan konten yang bertanggung jawab.”

Ia juga melihat dirinya bukan hanya sebagai penikmat informasi, tapi juga sebagai penggerak narasi. 

“Melalui karya akademik atau proyek kreatif, saya ingin ikut mendorong terciptanya media yang lebih adil, kritis, dan berdaya untuk semua lapisan masyarakat.”

Rana menekankan bahwa peran mahasiswa Komunikasi bukan sekadar belajar teori. “Kita bisa menciptakan kampanye edukatif, membagikan konten yang membangun, dan membentuk ekosistem media yang sehat.”

Ia percaya bahwa literasi media bisa dimulai dari lingkungan terdekat—dengan menyebarkan informasi faktual dan menantang narasi-narasi menyesatkan yang sering kali luput dari perhatian.

Saddam bahkan sudah menjadikan kontribusi ini sebagai praktik langsung. “Perubahan media nggak harus nunggu jadi jurnalis dulu. Kita bisa mulai dari cara kita membaca dan membagikan konten.”

Ia bercerita tentang keterlibatannya dalam kampanye literasi media di kampus, serta usahanya mengedukasi teman-teman lewat media sosial. 

“Saya hanya membagikan informasi yang sudah saya verifikasi dan nggak asal repost berita yang provokatif.”

Amar menambahkan, "Saya rasa, saya juga memiliki peran untuk membentuk kebiasaan media yang lebih baik. Yaitu melalui tidak sebarangan dalam memberikan komen atau menyebarkan informasi apapun secara Cuma-Cuma, perlu melakukan pengecekan Kembali atas jawaban atau informasi yang saya berikan."

Alih-alih menunggu peran besar di masa depan, mahasiswa Komunikasi mulai mengambil langkah nyata sejak hari ini sebagai agen perubahan dalam ekosistem media. Mereka paham bahwa membentuk media yang sehat bukan perkara instan atau bergantung pada institusi besar, tapi tentang konsistensi dalam membangun kebiasaan bermedia yang kritis, jujur, dan beretika. Dari pilihan untuk tidak menyebar hoaks, hingga menciptakan konten yang reflektif dan edukatif, semua itu adalah bentuk perlawanan terhadap disinformasi yang semakin sistematis. Dan dari ruang-ruang kecil inilah, perubahan besar terhadap wajah media bisa mulai diukir—bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan keteguhan sikap dan ketelitian nilai.

Menjadi Pionir Perubahan: Langkah Kritis Mahasiswa untuk Media yang Lebih Manusiawi

Dalam dunia yang terus berubah dengan cepat, media bukan lagi sekadar saluran informasi; ia telah menjadi entitas yang membentuk pola pikir dan tindakan masyarakat. Mahasiswa Komunikasi, dengan kesadaran kritis yang mereka bawa, mengajak kita untuk melihat lebih dalam dan mempertanyakan fungsi serta tanggung jawab media di era disrupsi ini.

Mereka memahami bahwa perubahan media tak perlu menunggu waktu. Mereka bukan hanya sekadar penikmat informasi, tetapi juga agen perubahan yang menginisiasi langkah pertama menuju media yang lebih profesional, berintegritas, dan mampu memberikan ruang bagi keberagaman suara. Ini bukanlah sekadar keinginan untuk memperbaiki media, melainkan untuk menjadikannya lebih manusiawi, adil, dan penuh tanggung jawab.

Dengan suara mereka yang tak lagi terpinggirkan, mahasiswa Komunikasi menunjukkan bahwa mereka siap untuk mengubah cara kita memahami, mengakses, dan menyebarkan informasi. Mereka bukan hanya pembaca pasif; mereka adalah pionir yang mengarahkan langkah media menuju arah yang lebih baik. Sebab, dalam dunia informasi yang semakin kabur, kita semua memiliki peran untuk memastikan kebenaran tidak tertutup oleh narasi yang membingungkan.

Apakah Anda siap untuk menjadi bagian dari perubahan itu?


Narasumber

1. Adam Kasjmir

2. Galuh Sifa' Adinda

3. Rana Alifah Wibowo

4. Saddam Bayu Wirayuda

5. Naufal Amar


Dukung tulisan ini agar terus hadir dengan berdonasi disini:

https://saweria.co/kanalperspektif



 

Post a Comment

0 Comments