Dedi Mulyadi menggendong seniman Longser saat pendaftaran di Kantor KPU Jawa Barat, Bandung, Selasa (27/8/2024). Foto: Antara News
Sat-set nya Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi untuk kepentingan elektoral masih terlalu dini. Namun, ia tak gentar. Dengan memanfaatkan media sosialnya, Dedi tahu betul bahwa rakyat kita gemar dengan pemimpin populis, yakni dengan terjun langsung ke lapangan, meskipun di satu sisi gagasannya hanya berhenti di permukaan dan tidak mengakar ke persoalan. Dedi adalah pemimpin yang narsistik. Ia ingin selalu menjadi sorotan publik.
Aksi Dedi dengan populismenya itu bisa dimaknai sebagai komodifikasi intrinsik. Dalam perspektif Vincent Mosco (1998), komoditi adalah upaya media dalam mengubah sesuatu menjadi komoditas yang dapat menguntungkan. Komodifikasi yang dilakukan Dedi Mulyadi bersifat merubah pesan yang ia jual di pasaran. Ini yang sedang dilakukannya. Ia hanya menjual narasi berupa konten bukan gagasan. Figur mantan presiden Indonesia seperti Joko Widodo pun pernah melakukan hal demikian. Jokowi menjual komoditas Mobil ESEMKA dan gorong-gorong, namun sebetulnya ia tak memiliki gagasan yang berarti.
Gagasan yang dilakukan Dedi tidak didasari oleh kajian yang cukup dan berkelanjutan. Dedi memilih untuk mengirim siswa yang 'nakal' ke barak militer, meskipun pengiriman siswa ini adalah kebijakan yang dangkal dan hanya menyelesaikan masalah sementara. Tentu saja karena barak TNI tidak sama seperti sistem pendidikan yang kita kenal.
Kebijakan Dedi dalam mengirim siswa ke barak militer memang harus dikritisi. Terlebih, TNI terlibat dalam aksi kekerasan setiap tahun. Pada 2024 lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan ada 64 kekerasan yang dilakukan TNI, dengan rincian 75 orang mengalami luka dan 18 orang tewas.
Lantas, bagaimana mungkin setelah kelulusan kelak, siswa akan menjadi disiplin? Seharusnya Dedi Mulyadi dapat melakukan mekanisme kajian yang jelas terlebih dahulu sebelum membuat kebijakan. Ia tidak bisa begitu saja tak mengindahkan persoalan. Dari pemetaan masalah ini, Dedi justru begitu terlihat tak memahami konteks permasalahan. Yang ia tahu, kebijakannya sudah terimplementasi dan mendapat respon publik secara luas di media sosial. Ia sudah cukup mendapat kepuasan dari jumlah likes dan subscribers di media sosialnya.
Kebijakan yang ia keluarkan melalui konten viralnya adalah promosi regulasi yang sifatnya permukaan. Dedi tak ragu menerapkan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial, meskipun diskriminatif pada laki-laki. Kebijakannya ini mudah merusak prosedur. Tanpa kajian yang mendalam, kebijakan yang ia buat hanya menyelesaikan persoalan di permukaan. Mengirim anak ke barak militer dapat berdampak pada psikologis anak. Vasektomi pada laki-laki berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara.
Logika simplisistik dan kebijakan permukaan ini sebetulnya bisa dilacak kembali ketika ia menjadi Bupati Purwakarta dari 2008 - 2018 lalu. Saat itu, Dedi memilih membuat kebijakan soal jam masuk sekolah di pedesaan lebih awal dari perkotaan dan mewajibkan puasa Senin-Kamis. Regulasi yang tak mengakar persoalan itu akhirnya hanya menghasilkan Indeks Pembangunan Manusia di Purwakarta yang tak mengalami kenaikan dari kategori sedang.
Upaya gubernur konten ini dalam mengambil hati masyarakatnya terus dilanjutkan hingga sekarang, saat menjadi Gubernur Jawa Barat. Dedi menampilkan pribadinya yang populis dengan bertemu langsung dengan masyarakat. Cara ini memang terbukti ampuh membuat elektabilitasnya begitu populer di sana. Artikel Hatherell & Welsh (2020) mendukung hal ini. Menurut mereka, pemimpin yang populis efektif menjaring simpati publik. Namun, sikap Dedi dalam kepemimpinannya cenderung melebihi batas. Saat Bekasi dilanda banjir Maret 2025 lalu, ia mencabut izin area wisata di Puncak, Bogor, meski bukan kewenangannya.
Ia tak begitu peduli dengan berbagai kebijakan yang ia buat. Dengan menabrak aturan dan tidak berkonsultasi dengan lembaga politik serta rekan-rekannya di DPRD makin menunjukkan bahwa pembuatan kebijakannya telah merusak birokrasi pemerintahan.
Yang ia fokuskan hanya mengurus masalah yang sifatnya permukaan dan bersifat sementara. Dedi akhirnya hadir di tiap lini masa kita, meskipun tak ada kebijakan realistis yang ia tawarkan.
Fanatisme berlebihan pendukung Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi memiliki pengagum yang militan. Fanatisme berlebihan ini tentu saja berbahaya. Ia dapat merusak opini publik dan mengancam kebebasan berpendapat individu (Turbic & Galesic, 2022). Terlebih, pemimpin sejatinya adalah seorang yang mampu menyerap seluruh aspirasi publik, terlepas kritik atau pujian. Pemimpin memiliki gagasan agar bisa dibantah bukan justru membantah. Demikian dengan pendukungnya, harus mampu mendengar aspirasi alternatif pihak lain. Apabila gagasan kritis ini tidak dipelihara dengan baik, lantas, bagaimana percakapan demokratis bisa muncul?
Terlepas dari militansi pengagum Dedi, kita semua sepakat bahwa tidak bisa menyamakan konsep kritik dan hinaan. Kritik adalah kebebasan berpendapat yang dirawat baik oleh konstitusi. Kritik, bisa dipahami sebagai gagasan yang membangun. Karl Marx (1859) dalam bukunya berjudul "A Contribution to the Critique of Political Economy", menjelaskan kritik bukan hanya bertujuan untuk memahami dunia, tetapi untuk mengubahnya. Bagi saya, media seperti Tempo (yang beberapa waktu lalu sempat diserang oleh buzzer) ketika membahas Dedi, hanya ingin mewanti-wanti sikap populisme yang dilakukannya. Lagi pula, Tempo hanya menjalankan fungsinya sebagai pers yang watchdog. Bagi Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2021) pers akan selalu mengawasi setiap gerak-gerik dari pemerintah, bukan bermaksud menghina seseorang, sikap 'anjing penjaga' ini sejatinya begitu peduli. Tempo tahu betul bahwa pemimpin populis seperti Dedi harus diwaspadai. Figur mantan presiden seperti Jokowi adalah contoh nyata betapa bahayanya pemimpin berlagak populis ini.
Belajar dari populisme Jokowi
Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi serupa dengan gaya populisme Joko Widodo. Berangkat dari jabatan Wali Kota Solo, Jokowi terus membawa narasi 'memihak warga kecil' itu hingga ia menjadi Presiden Indonesia. Jokowi begitu asyik turun ke gorong-gorong dan membuat Mobil ESEMKA. Namun nyatanya, apa yang diterapkan oleh Jokowi hanya bersifat permukaan, begitu populis, padahal sebenarnya tak ada yang ia lakukan. Dari fenomena populisme Jokowi ini, saya kira narasi publik yang mengkritik Dedi bukan untuk menyudutkannya. Publik hanya tidak ingin menelan luka mendalam yang sama seperti apa yang ditinggalkan oleh pemimpin populis seperti Joko Widodo.
Gaya populis Jokowi itu membuat Dedi mendapatkan pelajaran yang banyak. Dedi sama seperti Jokowi yang menjual konten dan penampilan, bukan gagasan. Kemunculan Dedi menjadi pengingat kita pada sosok Jokowi, yang gagasannya, tak menyentuh akar persoalan. Satu hal yang menjadi pembeda Dedi dengan Jokowi ialah sikap reaktif dalam menanggapi persoalan. Bisa dibilang, Dedi terlalu menonjol (one man show). Contoh saja, ketika dikritik KPAI soal mengirim siswa ke barak militer, Dedi malah balik menyerang dengan kritikan yang menyerangnya. Padahal, dalam negara demokrasi, suara alternatif begitu penting. Dari hal ini, bisa dilihat bahwa ia memiliki potensi menjadi pemimpin yang anti-kritik. Tentu saja, kita tak menginginkan pemimpin seperti itu.
Bagi saya, sat-set nya Dedi Mulyadi demi kepentingan elektoralnya masih terlalu dini. Dengan hanya bermodal elektabilitas dan 'gubernur konten' yang ia pelihara, tentu saja tidak akan cukup untuk elektoralnya pada 2029 mendatang. Publik harus terus mengkritisi setiap pemimpin negeri ini agar mereka tidak mudah terjerumus pada narasi permukaan dan memiliki kepentingan tulus untuk warganya. Dedi bisa saja merencanakan tabungan elektoralnya. Apalagi lumbung suara di Jawab Barat sangat besar. Namun ia harus ingat dan sadar betul bahwa ia memiliki wakil gubernurnya, pemerintahannya sendiri dan juga DPRD. Karena itu, sikap yang begitu menonjol ini harus Dedi pahami secara bijak.
Perilaku pemimpin yang seringkali serampangan membuat kita harus selalu mengawasinya. Hal demikian kita upayakan agar Indonesia dapat dipimpin oleh mereka yang memiliki gagasan dan intelektualitas tinggi seperti layaknya Bung Karno dan Mohammad Hatta. Hanya ini yang memungkinkan Indonesia menjadi negara yang maju dan bermartabat.
0 Comments