Ketika Pengayom Menjadi Algojo


Sumber : murianetwork

Di jalanan yang mestinya menjadi ruang hidup rakyat, kembali roda besi aparat melindas bukan hanya tubuh, tetapi juga martabat kemanusiaan. Seorang pengemudi ojek online, pekerja yang menggantungkan hidupnya dari keringat harian di jalan raya menjadi korban kebrutalan, ketika kendaraan Brimob menggilas tanpa nurani. Peristiwa ini bukan hanya kecelakaan, melainkan cermin dari kuasa yang tak terkendali, kuasa yang seharusnya melindungi tetapi justru menindas.

Betapa getirnya ironi negeri ini. Polisi, yang digadang sebagai pengayom, kerap tampil sebagai algojo. Brimob, yang seharusnya menjaga ketertiban, justru menghadirkan ketakutan. Seakan-akan jalan raya bukan lagi ruang aman bagi rakyat, melainkan arena maut ketika seragam cokelat dan hitam melintas. Pertanyaan pun menggema: sampai kapan rakyat harus rela menjadi korban dari taring negara yang tumpul terhadap hukum, tetapi tajam terhadap mereka yang lemah?

Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan, bukan sekadar tragedi lalu lintas. Ini adalah simbol betapa kekuasaan kerap dipertontonkan dengan pongah. Di jalanan, rakyat kecil kehilangan nyawa bukan karena takdir semata, melainkan karena arogansi yang tumbuh dari kebiasaan represif. Polisi, yang seharusnya hadir sebagai penuntun arah, berubah menjadi bayang-bayang yang menakutkan.

Inilah wajah gelap institusi yang enggan bercermin. Dari waktu ke waktu, kasus kekerasan, represif, hingga tragedi seperti ini terus terulang. Aparat lupa, bahwa seragam bukan tameng untuk bertindak sewenang-wenang. Seragam bukan lisensi untuk menindas. Seragam seharusnya adalah janji: janji untuk melindungi rakyat, bukan menakut-nakutinya.

Dan kita, masyarakat yang menyaksikan semua ini, tidak boleh hanya menunduk, tidak boleh hanya menghela napas dan menganggapnya sebagai berita lewat. Sebab diam, di saat ketidakadilan berlangsung, adalah bentuk persetujuan. Diam adalah kejahatan yang sunyi.

Maka mari kita bersuara, mari kita lawan dengan sikap, mari kita jaga ingatan agar peristiwa ini tidak terkubur sebagai statistik. Karena jika kita diam, hari ini seorang ojol yang dilindas, besok bisa siapa saja dari kita.

Jangan diam. Karena di negeri yang penuh arogansi kekuasaan, diam sama saja dengan menyetujui penindasan.

Rest in Power, Affan Kurniawan (2004 - 2025)

Post a Comment

0 Comments