Menjadi Orang Indonesia: Antara Ketimpangan, Kaum Liyan, dan Ketidakadilan Sistem Negara

Ilustrasi ketimpangan sosial di Jakarta. Foto: Tirto.id


Persoalan gaji bulanan bukan hal sepele. Negara wajib memberikan penghidupan yang layak bagi setiap warga negaranya. Itu tugas pokok yang mesti dipenuhi.

Bila negara tak mampu menjamin itu, kita akan bersiap menghadapi ketimpangan sosial. Bagi Romo Franz, ketimpangan adalah abnormal. Persoalannya, bukan pada warga negara yang tak mampu bersaing, tapi justru sistem negara yang mematikan mereka.

Lihatlah, janji manis penyediaan lapangan kerja sebanyak 19 juta itu? Apakah ada realisasinya? Ke manakah janji itu?

Atau, mengapa di tengah efisiensi anggaran, pemerintah justru sibuk menaikkan gaji DPR hingga menyentuh angka 100 juta per bulan?

Apa yang disebut Marx soal ketimpangan sosial nyatanya betul-betul menghinggapi kita. Saat ini kita sedang menghadapinya.

Ketimpangan begitu terasa, menusuk, dan tak pandang bulu pada kaum proletar itu.

Lihat saja guru dan pendidik di perguruan tinggi itu yang harus dibayar murah. Lihat saja buruh pabrik itu yang mesti dieksploitasi keringatnya hanya untuk memperkaya kapital.

Di saat para pejabat kita berfoya-foya dengan kinerjanya yang tak jelas, kita justru hanya menikmati suatu ketimpangan sosial.

Dan sekali lagi, segala bentuk ketimpangan ini adalah buah dari sistem negara kita sendiri. Sayangnya, negara nyatanya telah mengambil hak hidup para warga negaranya sendiri.

Pada akhirnya, ketimpangan ini akan selalu ada menghiasi kita. Soal ini, saya setuju dengan Tan Malaka, hanya ada satu gerakan yang mampu merubahnya, "mobilisasi massa".

Itu bila kita tidak ingin terus dieksploitasi negara sendiri.

Kita berhak atas segala bentuk penghidupan yang layak.

Untuk menyederhanakannya, saya ingin mengatakan, kita tidak pernah dihargai sebagai warga negara oleh negara kita sendiri. Sumber daya manusia kita yang melimpah tak pernah dianggap. Kaum intelektual yang susah payah berjuang meniti pendidikan tak digubris keberadaannya.

Wajar saja bila banyak yang keluar, mencari penghidupan layaknya sendiri, bukan di negara tempat ia lahir, namun di negeri orang lain, di tanah bangsa lain.

Ketika negera lain sibuk membangun SDMnya yang berkualitas dan menghargai pendidiknya, negeri kita justru sibuk melakukan efisiensi seluruh lini, hanya demi program nirkonkret seperti MGB dan menaikkan gaji anggota DPR itu.

Negara kita justru sangat menghargai perut pejabat, perut penjilat, perut yang haus kekuasaan, dan para badut istana dan pemerintahan.

Negara ini tak dibangun atas asas keadilan, utamanya bagi kaum liyan dan terpinggirkan.



Yogie Alwaton - Pemimpin Umum Kanal Perspektif

Post a Comment

0 Comments