Eksil dan Propaganda Musuh Bangsa

Film Eksil mengajak penonton menyelami nasib pilu para eksil yang kini hidup dan menetap di berbagai negara. Foto/Detik.com

Isu anarkisme belakangan menjadi topik yang diperbincangkan para aparat dalam menyikapi tragedi Agustus kelabu. Kericuhan dalam aksi demo juga menjadikan alasan Polda Jawa Barat pada 18 September 2025 lalu menyita buku-buku yang dianggap terafiliasi dengan paham anarkisme. Paham kiri dan komunisme lagi-lagi menjadi bahan untuk menakut-nakuti masyarakat sebagai musuh bangsa yang akan memecah belah kesatuan.

Saat membahas paham kiri dan komunisme, maka gerbong Lekra dan PKI tak luput dari perbincangan. Pemikiran pendek yang menyimpulkan karya-karya sejarah dan subversif tentang pertentangan kelas, kerap kali diframing sebagai 'ancaman'. Setidaknya itu yang selalu disusupi dalam pelajaran kewarganegaraan tentang kejamnya peristiwa G30S PKI, yang merupakan dampak dari ideologi ekstrimisme.

Namun, seharusnya pandangan kita akan berubah setelah menyaksikan film 'Eksil'. Karya dokumenter Lola Maria berdurasi 1 jam 58 menit yang mengungkap tragedi tahun 1965 dari sudut pandang para eksil.

Siapa mereka?

Mereka adalah para korban yang terdampak situasi politik pada tahun 1960-an, di mana transisi pergolakan Orde Lama ke Orde Baru membuat para mahasiswa yang sedang melanjutkan studi di berbagai negara tidak dapat kembali pulang ke tanah air. Alasannya adalah berbagai ideologi yang bertentangan dan tuduhan tak berdasar atas pembantaian massal pasca '65.

Hartoni Ubes, I Gede Arka, Tom Iljas, Waruno Mahdi, Alm. Asahan Aidit, Alm. Chalik Hamid, Alm. Djumaini Kartaprawira, Alm. Kuslan Budiman, Alm. Sardjio Mintardjo, Alm. Sarmadji, mereka adalah diaspora akademik yang mengungkap lembar demi lembar pengorbanan yang harus diberikan atas kecintaannya terhadap tanah air. Namun rupanya, pengamalan ilmu pengetahuan tidak juga mengantarkannya kembali ke Indonesia. Mereka berusaha melanjutkan kehidupan baru di negeri orang, walau tetap bersikukuh mengamini kepulangannya.

Propaganda musuh bangsa

Di tahun 1960-an, para eksil ini dipilih sebagai mahasiswa berprestasi yang dikirim keluar negeri (termasuk ke Uni Soviet dan Tiongkok) untuk belajar. Namun alih-alih bisa hidup tenang sembari mengampu pendidikan, kisruh di Indonesia justru membuat mereka memiliki keterbatasan untuk melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Paspor yang tidak lagi berlaku, komunikasi yang terbatas dengan keluarga, terdampar di negeri seberang dengan identitas yang terombang-ambing, tanpa tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi di negeri asal.

Di masa itu, di mana media komunikasi tidak secanggih dan secepat hitungan detik, para eksil kehilangan kontak yang menjadi hak mendasar sebagai WNI yang dikirim untuk tugas belajar ke negara seberang. Karakternya kemudian dibunuh dan dihubungkan dengan kekacauan politik yang ada.

Berangkat dengan semangat juang agar pulang dengan ilmu baru yang akan dikembangkan, mereka justru terusir dan kehilangan status kewarganegaraan tanpa tahu alasan dibaliknya. Dikisahkan pula setelah puluhan tahun berjalan, usahanya untuk kembali ke Indonesia dianggap sebagai sebuah bentuk serangan terhadap keutuhan bangsa. Suatu kepiluan melihat tayangan yang memotret para eksil berapi-api membuktikan dirinya sebagai bagian dari sejarah.

Bukan tayangan bebas

Karya dokumenter yang sangat berani ini hanya tayang terbatas. Mungkin kita tidak perlu mencari tahu 'mengapa' nya. Meskipun tahun selalu bergerak ke gaya hidup dan paham yang lebih modern, namun perbedaan sudut pandang dan ideologi hingga kini masih dianggap kecaman (lebih tepatnya) di negeri sendiri.

Selain isu-isu sensitif yang agak bertolak belakang dengan catatan di buku sejarah kita di bangku sekolah, dalang dalang dan aktor yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut juga terpampang dan disebut secara gamblang. Memperlihatkan bahwa barang bukti dan kronologi kisah dapat dibuktikan, untuk membuktikan siapa yang bertanggung jawab atas tragedi Eksil ini. Namun tahun demi tahun berjalan, bahkan di saat film ini disiarkan beberapa eksil telah gugur dengan perjuangannya, belum ada aksi nyata pemerintah untuk mengadili (atau setidaknya) bertanggung jawab atas penderitaan para Eksil ini.

Bukan tayangan bebas karena, di beberapa sisi negara ini terlalu takut dengan fakta yang menayangkan dosa lama. Padahal sejatinya manusia adalah tempatnya salah, dan mengakui kesalahan dengan menebusnya adalah hal yang ditunggu-tunggu masyarakat. Tapi rupanya lebih mudah untuk membungkam serta paranoid dengan fakta.

Tanggapan pribadi

Menangis.

Film ini mengantarkan isak kesedihan yang genuine tanpa embel-embel dramatika yang dibuat-buat. Melihat mata para eksil bersaksi tentang masa lalunya dari zaman ia belia, hingga kini keriput di dahi dan bawah matanya. Tak terbayangkan bagaimana tersiksanya memperjuangkan hak hanya untuk diakui sebagai bagian dari 'Indonesia'.

Sedikit saya tahu, bahwa film ini diproduksi Lola Maria sejak 2015 hingga 2022. Tidak tahu berapa modal yang diperlukan untuk memotret kisah berharga ini. Apresiasi saya berikan sebesar besarnya, karena film ini membukakan jendela lebih lebar tentang sejarah yang (nyatanya) tidak pernah benar-benar hitam dan putih.




Septiana Yustika W - (Buruh akademis yang berpijak pada fragmen aktivis. Mendalami riset media baru sekaligus penari paruh waktu).


Post a Comment

0 Comments