Ketika Puan Turun ke Lapangan

 

Aksi Protes Keracunan MBG, Puluhan Ibu di Jogja Pukuli Panci. (IDNTimes/ Herlambang Jati)


Di tahun 1950, Umi Sardjono menginisiasi terbentuknya Gerakan Wanita Tani, yang menyatukan berbagai organisasi perempuan sosialis, dan menjadi pendorong utama perjuangan hak-hak perempuan di Indonesia pada masanya. Gerakan ini melanjutkan segala perjuangan perempuan di masa pra-kemerdekaan hingga periode pergerakan nasional, di mana ruang berpolitik dan mengekspresikan ideologi lahir dari kalangan puan dengan keresahan atas nama ketidak-adilan.

Lantas apa yang terjadi di era kontemporer sekarang ini?

Bukan lagi ingin mengulas feminisme modern atau gerakan interseksional yang memang lebih masif dan memiliki gerakan spesifik dalam peradaban. Rupanya isu dan permasalahan yang sangat mendasar, atas nama kesetaraan, masih menjadi isu yang diupayakan bagi para komunitas perempuan. Perempuan bukanlah kaum yang termarjinalkan. Namun mereka dimarjinalkan, oleh sistem dan kebijakan. 

Gerakan perempuan di Indonesia tidak bergerak linier, melainkan dinamis dan kontekstual. Gerakan ini dipengaruhi oleh rezim politik, struktur kekuasaan, dan kebijakan tak berkeadilan. Terbukti pada tanggal 22 Desember kemarin, gerakan Ibu Berbisik asal Yogyakarta melakukan seruan dan tuntutan yang berisi:

  1. Menetapkan status bencana di Aceh dan Sumatera sebagai bencana nasional.
  2. Mengusut dan menindak tegas pelaku kejahatan ekologis yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan bencana.

  3. Melakukan moratorium program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan mengalihkan anggaran APBN untuk memperkuat institusi mitigasi dan penanganan bencana.

  4. Menjamin kebebasan berpendapat sesuai konstitusi dengan menghentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap jurnalis, aktivis, relawan yang bekerja di lokasi bencana; dan warga negara lainnya.

  5. Segera menangani bencana yang berpihak pada kelompok rentan, khususnya perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

Puluhan ibu-ibu di Jogja memprotes keracunan MBG hingga lambannya evakuasi korban bencana di Sumatera. Foto/ Kalis Mardiasih

Bertajuk Kenduri & Doa, tuntutan tersebut diserukan untuk merenungi kebijakan tidak tepat sasaran terlebih di tengah kondisi krisis bencana alam di Pulau Sumatera.

Menghitung mundur tahun 2025, Kamis terakhir yang selama ini identik dengan gerakan tuntutan keadilan bagi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kembali tiba. Namun, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Natal 2025, Aksi Kamisan tidak berlangsung di ruang publik seperti biasanya. Alih-alih turun ke jalan, ekspresi solidaritas hadir dalam bentuk doa, dipanjatkan oleh perempuan-perempuan yang selama ini bergerak dari berbagai ruang. Mulai dari ranah domestik, tempat ibadah, hingga ruang-ruang sunyi lainnya, sebagai harapan atas kehidupan yang lebih adil bagi Indonesia dan kelompok rentan.


Pertanyaannya kemudian, apabila puan kembali hadir di ruang publik pada tahun mendatang, apakah langkah tersebut merupakan wujud kebebasan berpolitik, atau justru refleksi dari tekanan berkelanjutan akibat belum terwujudnya keadilan dari para negarawan?


Septiana Yustika W - (Buruh akademis yang berpijak pada fragmen aktivis. Mendalami riset media baru sekaligus penari paruh waktu).

Post a Comment

0 Comments