Edward Said. Foto: London Review
Dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Selasa (25/06/2024), Prof Masduki (Guru Besar Media dan Jurnalisme UII) banyak mengomentari kebebasan akademik di Indonesia yang semakin terpuruk. Menurutnya, alih-alih menjadi agen pencerahan yang fokus memerhatikan isu sosial-politik (pelanggaran HAM, dinasti politik, dst), akademisi justru disibuki dengan urusan ‘domestik’ seperti pekerjaan administratif, beban penugasan yang berlebih, dan lain sebagainya.
Jurnal publikasi yang ditulis oleh Alanazi & Alfaqiri (2018) berjudul The Toxic University: Zombie Leadership, Academic Rockstars dapat menjelaskan fenomena itu. Pemimpin perguruan tinggi saat ini justru digambarkan sebagai zombie yang entitas tubuhnya 'exist' namun dengan menjalankan tugas-tugas administratif. Bergerak pagi ke kantor, menandatangani setumpuk dokumen dan sejenisnya yang sebetulnya mencerminkan ia bukan manusia, melainkan zombie yang tak mampu menjadi pemimpin sebuah masyarakat di bawahnya. Atau dalam arti lain, ia tak memiliki rasionalitas yang cukup.
Sementara itu, para dosen digambarkan sebagai academic rockstar yang kinerjanya dilihat berdasarkan ukuran kuantitas publikasi daripada kualitas tulisannya. Akhirnya, dosen pun tak mampu berbuat banyak. Jurnal yang ditulisnya menjadi asal-asalan dan tak memiliki makna pada kehidupan sosial yang holistik. Hal demikian sebetulnya terjadi karena tekanan perguruan tinggi yang tak main-main. Bayangkan saja, perguruan tinggi mengharuskan para dosennya untuk mempublikasikan jurnal secara banyak dan cepat. Mereka tak perduli bagaimana caranya. Alhasil kualitas isi dari tulisan yang harus dikorbankan. Tekanan ini belum lagi ditambah dengan pekerjaan administratif yang masih harus dikerjakan dosen.
Dengan demikian, universitas mengalami budaya toxic, dimana para dosen dipekerjakan mengerjakan pekerjaan administratif, sementara mandat utama (tri dharma) tetap harus mereka jalankan.
Berbicara soal beban administrasi itu, Prof Masduki juga tepat menjelaskan ini. Menurutnya, saat ini tren akademisi yang hidup di universitas telah mengikuti pola-pola kerja korporasi (yang budaya dan kekaryawanannya diatur sedemikian rupa), namun di balik hal ini terdapat politik otoriter yang tumbuh subur. Perguruan tinggi tak ayal menerapkan engineering stability dengan menjadikan perguruan tinggi menganut pola kerja liberal (Perry, 2019). Akibatnya, peringkat perguruan tinggi itu naik, sedangkan dosennya sibuk ditugasi melakukan kerja-kerja administratif yang tak berhubungan dengan karirnya. Kelindannya adalah mereka tak sempat berkarya dan perduli dengan isu-isu sosial di sekitarnya.
Apa buktinya? Lihat saja, saat akademisi di Amerika Serikat dan Eropa Utara aktif mengkampanyekan pelanggaran HAM dan genosida di Palestina, akademisi di Indonesia justru tak bersuara. Ditambah lagi soal isu dinasti politik di Indonesia yang anehnya, hanya sedikit akademisi kita yang perduli. Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Menurut Fleming (2021) dalam bukunya bertajuk Dark Academia: How University Die, hal demikian terjadi lantaran para akademisi terhalang oleh kebijakan kampus dan takut mendapatkan teguran. Akademi akhirnya takut menyuarakan isu penting di sekitarnya dan memilih berdiam diri.
Problem pemaknaan kebebasan akademik
Namun, tampaknya ada problem pemaknaan kebebasan akademik dari para akademisi kita tentang apa yang dimaknai mereka tentang profesinya. Masduki menyebut ada 3 jenis kebebasan akademik.
Pertama, scientific freedom, yaitu dosen yang bebas melakukan tri dharma. Ini yang disebut sebagai kebebasan ia sebagai akademisi.
Kedua, kebebasan akademik berperspektif utilitarian/pragmatik. Artinya, dosen harus bebas melakukan tri dharma tapi dalam rangka menciptakan homo-economicus (manusia-manusia yang siap pakai/siap bekerja). Implikasinya dosen harus mampu mengerjakan apapun (meskipun bukan tugas utamanya sebagai dosen).
Ketiga, perspektif kepublikan/demokratik, yaitu tugas akademisi sebetulnya adalah sumber dari nilai-nilai sosial, ekonomi, dan politik. Akademisi di sini diartikan sebagai kaum yang memiliki rujukan moral. Dari perspektif itu, seharusnya para akademisi sampai pada tahap ketiga ini. Namun, yang menjadi problem di sini adalah pemaknaan kebebasan akademik berhenti pada level pertama dan kedua. Alhasil, pemaknaan kebebasan itu tak sampai pada hakikat ia sebagai dosen yang bebas secara akademik.
Dalam arti lain, akademisi kini sedang memasuki apa yang disebut Peter Fleming sebagai dark academia. Di mana, akademisi menjadi korban dari struktur yang berupa birokratisasi perguruan tinggi di mana dosen berkutat pada hal administratif sehingga energinya habis dan akhirnya intelektualisme berhenti.
Intelektual dan peranannya
Menyikapi kebebasan akademik yang kian terpuruk itu, dibutuhkan peran dari intelektual sejati. Dalam hal ini, menurut Edwar W. Said dalam bukunya “Representation of The Intellectual”, akademisi sejatinya memiliki pilihan. Apakah ia akan menjadi akademisi yang menggunakan seluruh kemampuannya / true intellectual, atau ia hanya ingin menjadi ‘karyawan biasa’ yang taat pada pemimpinnya dan tak memiliki kebebasan akademik.
Menurut Said, apabila akademisi memutuskan untuk memainkan perannya sebagai kaum intelektual, ia harus memperoleh kebebasan dan mengabdikan hidupnya pada pengembangan ilmu pengetahuan. Intelektual adalah semua orang yang kegiatan utamanya bukan mengejar tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah ilmu.
Dalam pandangannya, Said menyebut bahwa ‘‘semua manusia itu intelektual, tapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual."
Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah bentuk kaum intelektual. Menurut Said, intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Said mencela kaum cendekia yang suka bersolek dan memilih diam demi kehati-hatian. Intelektual tidak netral. Ia harus memihak pada kelompok marjinal.
Bagi Said, intelektual adalah individu yang dikaruniai bakat merepresentasikan, mengekspresikan serta mengartikulasi pesan, pandangan, sikap dan filosofi kepada publik. Ketika mengartikulasikannya, individu senantiasa termotivasi untuk menggugah rasa kritis orang lain. Sosok ini menurut Said ialah Russell, Sartre, Camus, Chomsky. Inilah yang membedakan mereka dari kaum lain.
Intelektual memiliki tanggung jawab yang besar. Bila ia ingin dikatakan sebagai the true intellectual, ia harus mampu memiliki kebebasan secara akademik. Meskipun terkadang mereka harus menerima konsekuensi dari kebebasannya itu.
Pengalaman LIPI misalnya. Di mana saat itu, sekumpulan peneliti LIPI ingin Presiden Soeharto mengundurkan diri karena tidak terciptanya kebebasan berpendapat yang luas. Namun pemerintah menganggap LIPI melakukan politik praktis. Akhirnya LIPI pun harus rela diam atas sesuatu yang tak mereka percaya. Kalau tidak, mereka akan dianggap melawan arus, dapat dipecat, tersisih dari pergaulan ‘umum’ dan akan sulit mendapat promosi serta kecil peluang menduduki kursi struktural. Sebaliknya, seorang pengajar yang berperangai manis, tidak ‘macam-macam’, rajin mengumpulkan kum (dengan cara apa saja termasuk memanipulasi karya orang lain), dan rela menjadi 'penjilat' maka ia akan mudah mendapat promosi kendati prestasi ilmiahnya biasa saja. Kaum seperti inilah yang disebut oleh Julien Benda sebagai intelektual yang berkhianat.
Namun sekali lagi, akademisi seperti ucap Said, berhak memilih. Apakah akan menjadi intelektual sejati atau sebaliknya berdiam diri dan tak mampu menggunakan daya intelektualitasnya secara maksimal. Semua ini diserahkan pada para akademisi itu.
Bacaan lebih lanjut
Fleming, P. (2021). Dark academia: How university die. Pluto Press.
Perry, E. (2019). Educated acquiescence: How academia sustains authoritarianism in China. Theory and Society, 49(1), 1-22.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Profesor Masduki. Kebebasan akademik dan resiliensi otoritarianisme di Indonesia.
Said, E. W. (1993). Representations of the intellectual. Vintage.
0 Comments