Kediktatoran untuk Sang Penguji Realitas

 

Ilustrasi komunikasi politik. Foto: RM.ID

Di tengah arus informasi yang semakin deras dan tak selalu jernih, peran mereka yang berusaha memverifikasi dan menafsirkan ulang kebenaran menjadi sangat penting. Baik jurnalis, peneliti, maupun warga sipil yang aktif, mereka hadir untuk menjembatani antara publik dan kekuasaan—berupaya menyaring informasi, menguji klaim, dan menjaga agar ruang diskusi tetap rasional. Namun kenyataannya, suara-suara ini sering kali justru terpinggirkan. Di saat informasi menyebar begitu cepat melalui algoritma dan unggahan, pendapat yang bernuansa dan berbasis data bisa kalah oleh narasi yang lebih nyaring meski menyesatkan.

Keandalan informasi dan integritas demokrasi berada dalam bayang-bayang. Kemajuan teknologi—khususnya kecerdasan buatan (AI)—yang semestinya menjadi alat bantu peradaban justru dimanfaatkan untuk memelintir kenyataan. Dalam berbagai pemilu di Asia, Eropa, bahkan Amerika Latin, kita menyaksikan bagaimana video kampanye hasil rekayasa AI, suara palsu, hingga citra politisi yang difabrikasi digunakan untuk membentuk opini publik. Tidak lagi sekadar framing, kini publik dihadapkan pada kenyataan palsu yang nyaris tak bisa dibedakan dari fakta.

“AI bukan realitas sesungguhnya. Namun, bagaimana jika bias ini diterima sebagai seolah menjadi kebenaran oleh masyarakat luas?”

Pertanyaan Nikki Usher dari University of San Diego ini menggema dalam setiap ruang debat publik. Sebab AI, sebagaimana pisau, bisa menyelamatkan, bisa pula menikam. Dalam konteks politik, ia kerap memilih peran terakhir.

Syed Nazakat, jurnalis dan pendiri DataLEADS dari India, mencermati realitas baru ini dengan waspada. Baginya, kerja media arus utama bukan lagi semata mengumpulkan data dan informasi. Informasi sudah melimpah, membanjiri publik bak air bah. Tugas mulia jurnalisme kini adalah memastikan, menguji, memverifikasi—apakah informasi itu benar, atau hanya ilusi yang diciptakan dengan canggih.

Namun sayangnya, media arus utama itu sendiri kini makin ringkih. Tergerus tekanan ekonomi, dibayang-bayangi kepentingan pemilik modal, dan dipertanyakan netralitasnya oleh publik yang telah kehilangan kepercayaan. Kelemahan media inilah yang menandai ancaman ganda: ketika politisi memainkan AI sebagai senjata propaganda, dan media gagal memainkan peran pengawasnya, siapa lagi yang bisa publik harapkan?

Saat Buzzer Bekerja, Kebenaran Terkubur

Keberadaan pendukung (buzzer) yang marak telah mengaburkan fakta di dunia maya. Tanpa tata kelola dan penanganan serius, hal ini mengancam demokrasi. Investigasi Harian Kompas pada April-Mei 2025 mengungkap bahwa jejaring pendengung bekerja dengan tarif jutaan hingga miliaran rupiah untuk tiap proyek. Pengaruh mereka dibangun melalui jejaring yang luas, didukung teknologi, dari phone farming atau peternakan telepon hingga pelantar (platform) untuk menambah jumlah pengikut di media sosial.

Pekerjaan sebagai pendengung merupakan pekerjaan baru seiring dengan kemampuan programatik teknologi digital dan keberadaan akal imitasi (AI) yang masif. Pekerjaan ini, dengan berbagai variasi penyebutan seperti pasukan siber, rupanya dibutuhkan oleh orang-orang atau institusi untuk memengaruhi opini publik. Mereka dibayar untuk melepas konten-konten tertentu di dunia maya.

Masalahnya, hingga sekarang tidak ada pengaturan soal syarat-syarat konten yang boleh dilepas dan juga tata kelola konten yang diharapkan tidak merusak kepentingan publik. Kita bisa membayangkan, untuk merusak seseorang, lembaga pemerintah, atau organisasi, cukup dengan mengerahkan pendengung.

Umumnya, orang atau lembaga yang menggunakan pendengung adalah mereka yang bermasalah secara citra. Bukannya memperbaiki masalah internal, mereka malah mencari benteng: para pendengung. Lebih disayangkan lagi, sejumlah lembaga pemerintah disebut-sebut mengeluarkan anggaran besar hanya untuk membiayai aktivitas ini—membuat uang negara ikut mendanai polusi informasi.

Sangat wajar apabila kita mengkhawatirkan dampak dari pendengung yang makin marak. Pendapat seseorang akan tenggelam oleh serbuan unggahan atau komentar yang digerakkan oleh mesin, bukan karena adu pendapat orang per orang. Orang yang bersuara akan dikeroyok oleh para pendengung atas permintaan institusi tertentu. Sementara pujian yang muncul pun tak bisa lagi dibedakan antara suara tulus dan komentar berbayar.

Fakta di dunia maya menjadi kabur. Kita tak persis tahu mana yang benar atau asli, dan mana yang dibuat untuk kepentingan tertentu. Ulasan, pujian, atau bahkan makian—semuanya bisa dibayar. Dunia pendengung atau pasukan siber ini tergolong liar, tanpa pengaturan. Semakin lama dibiarkan, kehadiran mereka cenderung merusak berbagai sendi kehidupan sosial. Suara satu orang tidak lagi ada artinya karena bisa dibabat oleh ribuan akun palsu yang dioperasikan secara masif.

Konsep Marshall McLuhan tentang “the medium is the message” menjadi semakin relevan hari ini. Media, bukan hanya pembawa pesan, melainkan menjadi pesan itu sendiri. Struktur media digital hari ini tak netral. Ia adalah perpanjangan dari pola pikir dan budaya konsumsi instan. Media sosial menyajikan "snack" informasi—cepat, ringan, dan mudah ditelan, tapi jarang bernutrisi.

Studi Max Planck Institute for Human Development (2022) menunjukkan, mayoritas masyarakat dunia kini menggunakan media sosial sebagai sumber informasi politik utama. Dalam ruang digital itu, algoritma lebih berkuasa dibanding jurnalis. Berita yang tampil bukan karena nilainya, tapi karena daya tariknya. Makin emosional, makin viral. Makin menyulut amarah, makin disebarkan.

Kita kemudian terjebak dalam ekosistem news-snacking yang membuat kesadaran kritis menjadi barang mewah. Informasi dikonsumsi tanpa verifikasi. Kebenaran diukur berdasarkan engagement, bukan validitas. Polarisasi pun menjadi keniscayaan.

Menjadi Penguji Realitas, Menjadi Penjaga Demokrasi

Sosok penguji realitas dalam konteks ini ibarat penjaga lilin di tengah badai. Mereka bukan hanya jurnalis dan akademisi, tapi juga warga sipil yang rela menyaring banjir informasi dan menyuarakan kebenaran—meski kadang diolok-olok, dibungkam, bahkan diancam.

Namun, kerja ini makin berat ketika publik sendiri mulai jengah pada kebenaran yang kompleks. Mereka lebih memilih narasi sederhana dan menghibur, sekalipun palsu. Sebagaimana dikatakan Don Kevin Hapal dari Rappler Filipina, pemilu di negaranya dan India telah menjadi ladang subur propaganda berbasis AI. “Ini memicu bencana,” katanya. Dan bencana itu bukan sekadar hasil pemilu yang problematik, tapi dalam jangka panjang, krisis kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.

Apalagi di Indonesia, di mana Kominfo mencatat ada lebih dari 800.000 situs penyebar hoaks yang aktif sejak 2017. Menjelang pemilu, polarisasi menguat. Kandidat tidak cukup menjual visi, tapi juga menyebar ilusi. Masyarakat dicekoki narasi hitam-putih yang menyederhanakan kenyataan kompleks. Yang berbeda pendapat dicap lawan, bahkan musuh negara. Yang menyuarakan kebenaran dicurigai sebagai "buzzer lawan". Dalam situasi ini, menjadi penguji realitas bukan cuma sulit—ia bisa menjadi tindakan yang dianggap membahayakan stabilitas.

Namun, justru dalam kondisi inilah publik harus hadir. Demokrasi tak bisa digantungkan sepenuhnya pada media atau institusi negara. Ia membutuhkan kesadaran kolektif dari warga yang kritis dan aktif.

Seperti wasiat Buddha Gautama ribuan tahun lalu, “jangan percaya hanya karena sesuatu dikatakan orang bijak, tertulis di kitab, atau diwariskan secara turun-temurun. Percayalah hanya jika Anda sudah mengujinya sendiri secara objektif.”

Demokrasi hanya bisa bertahan bila publik bersedia menjadi penguji realitas. Itu berarti: tidak mudah percaya, rajin membaca, rajin memverifikasi, dan tidak silau oleh kemasan. Dunia digital menawarkan segalanya secara instan, tapi kebenaran tetap butuh waktu dan usaha untuk ditemukan.

Perlu diingat pula bahwa media sosial bukanlah musuh. Ia adalah ruang yang bisa dimanfaatkan untuk menyuarakan narasi tandingan. Tapi kita perlu cerdas. Kita perlu tahu bahwa apa yang muncul di beranda bukan kebenaran, melainkan apa yang ingin kita lihat—dan yang ingin ditunjukkan oleh algoritma. Maka perlu keaktifan untuk keluar dari gelembung informasi dan mencicipi kenyataan lain yang mungkin tak nyaman.

Jika kebenaran makin sulit ditemukan dan yang menyuarakannya justru dibungkam, maka kita sedang berada dalam cengkeraman kediktatoran baru—kediktatoran atas informasi. Bukan tirani satu orang, melainkan tirani algoritma dan keseragaman berpikir. Dalam sistem semacam ini, penguji realitas adalah musuh karena mereka merusak skenario besar yang ingin menjadikan publik sebagai pengikut setia.

Namun, sejarah menunjukkan, selalu ada yang menolak tunduk. Mereka yang bersedia menyelidik lebih dalam, berpikir lebih panjang, dan bersuara lebih jernih. Mereka yang meyakini bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih setiap lima tahun, tapi soal menjaga agar ruang publik tetap sehat, agar kebohongan tak tumbuh subur.

Kita semua bisa menjadi mereka. Kita bisa menjadi penguji realitas itu. Karena ketika kebenaran dilucuti oleh propaganda, dan media terlalu lemah untuk melawan, hanya publik yang kritis yang bisa menyelamatkan demokrasi dari kehancuran yang perlahan.


Dukung tulisan ini agar terus hadir dengan berdonasi disini:

https://saweria.co/kanalperspektif



Post a Comment

0 Comments