Komunikasi Bencana, Ujian Kepemimpinan Publik

 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Suharyanto sebut banjir Sumatera hanya mencekam di media sosial. Foto/BNPB


Oleh: Harya Rifky Pratama - Praktisi Komunikasi 



Indonesia adalah negara yang hidup berdampingan dengan bencana. Hal ini sudah disadari bahkan sejak era kolonial Belanda. Kesuburan tanah, gunung berapi hingga wilayah kepulauan potensi keuntungan alam begitu melimpah, namun ini juga dibersamai dengan potensi bencana. Setidaknya pasca reformasi kita bisa melihat bencana besar yang terjadi seperti tanah longsor, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, hingga banjir. Betapa pengalaman publik indonesia mengenai bencana begitu sering terjadi. Namun, satu hal yang kerap luput disiapkan, bukan perihal logistik dan infrastruktur saja, tapi komunikasi yang jelas dan empatik ketika terjadi bencana.


Indonesia sudah sangat berpengalaman menghadapi krisis bencana. Pengalaman ini bahkan telah menjadi kecakapan yang seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin di negeri ini. Jika menengok ke tahun 2010, Indonesia menghadapi rangkaian bencana besar seperti banjir bandang Wasior di Papua, tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, hingga erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta. Dari berbagai peristiwa tersebut, terlihat bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam upaya penanganan dan penyelamatan.


Pengalaman itu seharusnya membuat Indonesia semakin matang dalam mengelola krisis. Namun, peristiwa banjir yang terjadi belakangan ini di Aceh menunjukkan bahwa persoalan utama komunikasi bencana di Indonesia bukan terletak pada kurangnya kanal informasi. Masalah sesungguhnya adalah absennya kepemimpinan komunikasi yang konsisten, jujur, dan berempati dalam menyampaikan kondisi di lapangan kepada publik.


Di tengah bencana, publik tidak hanya membutuhkan bantuan, namun juga kepastian. Misalnya terkait berapa jumlah korban, dampak kerusakan, bahkan bagaimana langkah antisipatif yang sudah dilakukan menjadi sebuah evaluasi dan pertanyaan besar publik. Ini karena bencana hadir selalu datang bersama dengan kepanikan, ketidakpastian, bahkan juga banjir informasi. Maka pada titik ini, komunikasi bukan sekedar pelengkap, namun jauh daripada itu ia sebagai penentu keselamatan.


Kerap terjadinya bencana di Indonesia membuat pemerintah perlu mengedepankan dan menyiapkan secara aplikatif akan adanya protokol komunikasi yang strategis, bukan reaksi spontan. Pekerjaan ini akan selalu terjadi sebelum terjadinya bencana (pra) sebagai langkah antisipatif, saat bencana dan setelahnya (paska). Bagaimana mengelola informasi yang faktual sesuai dengan kondisi dilapangan, dengan memperhatikan emosi baik korban hingga masyarakat yang sedang berada diluar wilayah bencana, kita bisa bayangkan bagaimana pentingnya peran informasi tidak hanya perlu di lokasi namun juga diluar lokasi terjadinya bencana. 


Pemerintah perlu memprioritaskan kepercayaan publik. Pemerintah bekerja untuk publik bukan hanya untuk segelintir pihak yang mencari aman atau menutupi kesalahan hingga akhirnya mengorbankan kepercayaan dengan pembatasan dan pengalihan persepsi publik. Dalam konteks kejadian banjir ini, kita seolah dibawa pada sebuah kondisi yang nampak baik baik saja dan tertangani dengan baik, bahkan hingga menolak bantuan dari pihak luar. 


Ketika terjadi krisis bencana, kejelasan dan empati menjadi fase penting yang harus diberikan kepada publik. Jangan sampai proses empati menjadi panggung politik untuk menaikan kepercayaan publik. 


Banyak kesalahan kerap dilakukan, misalnya saja soal inkonsistensi informasi dan nir-empati pada korban bencana banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hal ini terjadi saat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Suharyanto menyebutkan bahwa kondisi di Aceh hanya mencekam di media sosial. Ini tentu saja menunjukkan ketidakterampilan komunikasi oleh pemimpin publik. Kesalahan lain juga dilakukan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, misalnya yang menyebutkan energi di Aceh sudah terkondisikan. Padahal dari kondisi lapangan, hal ini sangat jauh berbeda. Komentar dan kritik keras pun akhirnya bermunculan yang menyebutkan bahwa bencana ini terjadi secara nyata dan menimbulkan korban jiwa, bukan sebatas pada algoritma sosial media. 


Dari situasi itu, maka perlu adanya konsistensi pesan, serta pentingnya peran juru bicara yang memiliki kapasitas dan kompetensi serta legalitas untuk mewakili pemerintah dengan penyampaian komunikasi secara empatik agar publik tidak merasa diabaikan. Pada kondisi ini, publik akan menilai seberapa peduli mereka dengan aksi dan tindakan, bukan seberapa pintar pemerintah berbicara.



Ujian kepemimpinan publik


DI SAMPING ITU, bila kita berbicara komunikasi bencana atau krisis maka akan berbicara juga soal kepemimpinan. 


Maka kehadiran pemimpin secara fisik maupun simbolik di lokasi kejadian menjadi simbol bahwa pemerintah hadir. Pemimpin ini harus berbicara dengan bahasa manusia, bukan birokrasi. Para pemimpin juga mesti mampu menjadi sumber dan rujukan informasi yang utama. Pemimpin perlu membawa ketenangan kepada publik dengan mengakui secara jujur mengenai kondisi yang ada di lapangan, memberikan langkah tegas serta tenang dalam menyampaikan risiko.


Begitu pentingnya peran ini karena kita juga tengah dihadapkan pada kondisi era keterbukaan informasi yang begitu cepat bahkan bisa kabur dari fakta. Maka diperlukan klarifikasi yang clear dan akurat. Kembali lagi, kerap kemudian yang terjadi justru narasi yang begitu banyak, hingga dihadirkan kondisi yang berbeda antara sumber dari pemerintah dan kondisi yang diberikan oleh pemberitaan media. Diperlukan pula peran dari masyarakat sipil (civil society) yang mampu memberikan dukungan dan sumbangan besar kepada korban.


Dalam bencana, kegagalan komunikasi bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan kegagalan kepemimpinan. Ketika negara terlambat hadir dengan informasi yang jelas dan empatik, ruang publik akan diisi oleh kepanikan, rumor, dan ketidakpercayaan. Karena itu, komunikasi bencana harus diperlakukan sebagai tanggung jawab utama negara. Bukan untuk menjaga citra, tetapi untuk menjaga nyawa.


 


Post a Comment

0 Comments