Petugas BNPB bahu-membahu membantu proses evakuasi korban bencana alam di Pulau Sumatera. Foto: Solusi Indonesia
Krisis iklim itu benar adanya. la bukan khayalan, apalagi takhayul. Semua orang kini menyadarinya.
Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas semua kekacauan ini?
Kita, sebagai manusia. Manusia yang rakus. Manusia yang tak pernah menghargai alam. Padahal, manusia dan alam harus hidup berdampingan. Manusia harus berteman dengan alam.
Sayangnya, kita mengkhianati persahabatan itu. Kita tak menghargai keberadaan alam. Banyak ruang hidup mereka kita habisi, sampai tak lagi tersisa.
Bagi saya, pemerintah pun rakus. Saya tak tahu persis, berapa hektar alam yang sudah dihancurkan. Tujuannya untuk apa? Sudah barang tentu guna kepentingan politis.
Penambangan nikel, dihancurkannya hutan adat di IKN, alih fungsi hutan menjadi sawit, hingga rusaknya paru-paru dunia adalah bukti kejahatan negara pada alam.
Bukit Barisan pun kini ditelanjanginya. Air deras itu kini jatuh ke tanah dan tak mengakar, ia tidak meresap.
Alam bisa saja marah. Peristiwa bencana alam yang seringkali terjadi sebetulnya adalah pengingat bagi kita bahwa alam juga memiliki perasaan. la tak bisa diperlakukan semena-mena. Alam juga memiliki hati.
Sampai di sini, kita bisa berefleksi, sudahkah diri kita sendiri ini menghormati alam? Atau justru kita ikut merusaknya?
BENCANA ALAM di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat itu kini semakin menjadi-jadi. Kita patut marah. Bukan karena hujan, tetapi karena kegagalan sistemik pemerintah untuk melindungi rakyat di tengah krisis iklim yang kian brutal. Curah hujan yang tinggi dan rendahnya resapan air di Pulau Sumatera bukanlah anomali. Banyaknya korban jiwa juga tidak serta-merta karena cuaca. Ia adalah hasil dari buruknya keputusan politik yang menempatkan warga pada kondisi bahaya.
Ratusan korban tewas akibat bencana alam yang terjadi di Pulau Sumatera itu adalah akibatnya. Namun sampai saat ini, belum ada upaya konkret yang dilakukan pemerintah. Mereka tak bisa berdiam diri. Penetapan bencana daerah tidak akan menyelesaikan akar persoalan darurat bencana di tiga daerah itu. Diperlukan penetapan bencana nasional karena situasi yang sudah buruk sehingga membuat penanganan darurat semakin terhambat. Hidup warga di Pulau itu bukan semata-mata soal kuantitas nyawa, mereka harus diselamatkan.
Namun, pemerintah kita justru terlihat tak perduli. Bahkan, pemerintah seakan acuh pada isu penyelamatan lingkungan karena kepentingan politis dan ekonomi. Apa buktinya? Simak saja pernyataan pemerintah berikut ini;
"Sebagian negara-negara lain pada saat era 50an, 60an, mereka punya hutan banyak juga, mereka punya tambang. Pada saat itu negara mereka belum maju seperti sekarang, maka mereka mengambil Sumber Daya Alam (SDA) mereka itu. Hutannya dibabat, tambangnya diambil, dan mungkin lingkungannya pada saat itu tidak lebih baik dari apa yang kita lakukan sekarang. Siapa yang memprotes mereka saat itu? Sekarang negara kita yang punya SDA untuk mensejahterakan rakyatnya, kok ada yang merasa terganggu? Ada apa dibalik itu?," ujar Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM) dalam pidatonya saat Geopolitical Forum IX 2025 di Jakarta, (24/06/2025).
Pernyataan ini tentu saja keliru. Bahlil terlihat merendahkan martabat lingkungan di mata dunia. Pernyataan ini juga sekaligus mencerminkan pejabat publik kita merendahkan fungsi hutan dan alam.
Bahkan, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto pun turut menyatakan hal yang sama. Lihatlah pidato resmi Prabowo saat memberikan pengarahan dalam Musrenbangnas di Kantor Bappenas, Jakarta, Senin (30/12/2024).
"Kita juga harus tambah tanam kelapa sawit. Gak usah takut, apa itu yang membahayakan? Deforestation? Namanya kelapa sawit ya pohon. Ada daunnya kan. Kok ya kita dituduh yang mboten-mboten aja itu orang," katanya.
Pidato di atas tak bisa dianggap remeh. la justru akan membuat alam murka. Bencana alam di Sumatera adalah buktinya. Beberapa daerah di Sumatera bahkan tenggelam. Alam sedang marah. la begini karena manusia rakus. Peristiwa bencana ini tentu tak terjadi secara kebetulan. la pula tak disengaja.
Pernyataan Prabowo soal fungsi kelapa sawit dalam menangkal banjir tak benar. Sawit jelas tidak mampu menggantikan fungsi ekologis hutan tropis. Perkebunan sawit monokultur dan homogen sehingga tidak punya keragaman struktur kanopi dan lapisan akar yang diperlukan untuk menahan hujan ekstrem, bahkan meningkatkan limpasan permukaan.
Ketika negara mempermudah izin tambang di hulu, ketika pohon sawit ditanam begitu masif dan menggantikan fungsi hutan yang asri, negara sesungguhnya sedang memperburuk keadaan dengan meminta pundak warga di hilir untuk mengambil risikonya.
Kepada publik, pejabat negara seringkali mengumbar janji-janji politis yang manis. Katanya, isu lingkungan akan segera diatasi. Katanya negara ini akan menjamin sustainable development. Padahal, pada saat yang sama mereka menandatangani proyek baru yang mengubah hutan menjadi sawit, pesisir menjadi resort, tambang nikel untuk kepentingan ekonomi, hingga memindahkan ibukota ke IKN yang harus mengorbankan hak masyarakat adat dan ruang hidup hutan. Realitas ini adalah kenyataan yang tak masuk logika. Akhirnya, kepentingan ekonomi harus diletakkan di atas kepentingan lingkungan. Prinsip kapitalisme ini tentu saja berbahaya. Karl Marx seringkali mengingatkan pada literatur yang ditulisnya bahwa manusia tidak boleh rakus. Negara pun tak boleh membuat perbedaan kelas. Negara harus bisa menjamin hak hidup warga negaranya. Logika kapitalisme negara dalam perspektif Marx memandang bahwa negara akan mengeksploitasi kesejahteraan dan keamanan publik. Kondisi ini yang sebetulnya sedang terjadi di negeri ini.
Bencana alam di Sumatera ini adalah alarm yang berbunyi sangat keras. Banjir Sumatera bukan sekadar bencana alam biasa, ia adalah konsekuensi dari beberapa faktor seperti tidak sigapnya pemerintah dalam menangani bencana dan tindakan pemerintah yang terlalu kapitalistik pada warganya sendiri. Warga yang terkena dampak akhirnya harus bahu-membahu bertahan dari bencana dengan fasilitas minim.
Oleh karena itu, manusia harus bisa menjalin hubungan baiknya dengan alam (hablum minal alam). Tidak cukup jalinan baik ini hanya sampai pada tahap berhubungan dengan Allah (habluminallah) dan hubungan dengan sesama manusia (habluminannas).
PADA AKHIRNYA, semua manusia harus berbenah. Termasuk pemerintah. Mereka dibayar untuk mengatasi sederet persoalan di negeri ini. Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi, pemerintah sebetulnya bisa berefleksi. Mereka bisa saja berupaya menghormati alam itu. Misalnya dengan meninjau ulang tata ruang dan bersahabatlah dengan alam. Pemerintah tidak boleh rakus. Mereka tak boleh membabat hutan, menggunduli hutan, dan tak mengakui keberadaan alam.
Kita bisa menghentikan bencana ini.

0 Comments